Jumat, 17 Desember 2010

peranan imam turmudzi dalam pembukuan hadis hasan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sejak wafatnya Rasulullah SAW persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi Alquran dalam satu mushhaf. Disamping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi di masa tabi’in, kondifikasi Alquran semuanya disandarkan pada diri Rasulullah SAW yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir-nya yang disebut Hadis.
Ilmu hadis mencakup dua obyek kajian pokok, yaitu Ilmu Hadits Riwayat dan Ilmu Hadits Diroyah. Yang dimaksud Ilmu Hadits Diroyah adalah “kumpulan kaidah dan masalah yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan periwayat dan yang diriwayatkan, dipandang dari segi diterima atau ditolaknya”. Faedah mempelajari Ilmu Hadits Diroyah adalah mengetahui yang diterima dari yang ditolak, satu hal yang wajar bila sebagian hadis memenuhi syarat-syarat qobul secara maksimal di samping ada sebagian yang tidak memenuhi keseluruhannya atau sebagiannya saja.
Kadang-kadang syarat qobul dapat dipenuhi secara sempurna oleh sebagian hadis, akan tetapi sebagian perowinya tidak berada pada tingkat yang tinggi dalam hal hafalan, kedhabitan dan keteguhan. Kedhabitan mereka berada di bawah tingkat kedhabitan para perawi hadis shohih. Mereka itulah para perawi hadis hadis hasan yang berada pada posisi tengah antara shohih dan dho’if  namun hadis mereka tetap diterima dan diamalkan. Orang yang mula-mula memperkenalkan pembagian hadis kepada shohih, hasan, dan dho’if adalah imam at-Turmudziy. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang Imam at-Turmudziy dan peranannya dalam pembukuan Hadis Hasan.



B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.       Pengertian Hadis Hasan
b.      Sejarah dan biografi Imam Turmudziy
c.       Peranan Imam Turmudziy dalam pembukuan Hadis hasan

C.    Tujuan Masalah
Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai melalui makalah ini adalah :
a.       Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian Hadis Hasan
b.      Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang biografi Imam Turmudziy dan sejarah hidupnya
c.       Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang peranan Imam Turmudziy dalam pembukuan Hadis Hasan

D.    Manfaat dan kegunaan Masalah
Dari latar belakang, rumusan dan tujuan masalah maka kami dapat mengambil manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
a.       Menambah wawasan tentang asal mula hadis hasan beserta biografi Imam Turmudziy
b.      Menambah wawasan tentang sejarah hidup Imam Turmudzi
c.       Menambah wawasan tentang peranan Imam Turmudzi dalam pembukuan hadis hasan

BAB II
PENGERTIAN HADIS HASAN DAN SEJARAH IMAM TURMUDZI

A.    Pengertian Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa berarti :
ما تشتهيه النفس و تميل اليه
Artinya : sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu[1] , ada yang mengatakan hasan adalah sifat musyabbah yang berarti al-Jamal, yaitu indah dan bagus Sedangkan Hasan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena ada sebagian yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi di antara hadis shohih dan hadis dho’if , tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dho’if  yang dapat dijadikan hujjah[2]. Namun yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam an-Nukhbah, yaitu khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabithannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syadz dinamakan shohih lidzatih, jika kurang sedikit kedhabithannya disebut hasan lidzatih[3]. Menurut Khatabi Hadits Hasan adalah hadits yang makhrojnya (sumber-sumber) diketahui dan rijalnya (perawi) masyhur, ia merupakan pokok dari hadits-hadits, ia juga diterima dikalangan para ulama’ serta banyak digunakan oleh para ahli fiqh”[4].
Dengan kata lain Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya dan terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan keraguan antara hadis shohih dan hasan yang paling penting adalah batasan bahwa keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedang pada hadis shohih melekat pada rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Tetapi keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit keduanya bisa digunakkan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat[5].
Kriteria hadis hasan hampir sama dengan kriteria hadis shohih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabithannya. Hadis shohih kedhabithan seluruh perawinya harus tamm (sempurna), sedang dalam hadis hasan kurang sedikit kedhabithannya jika dibandingkan dengan hadis shohih. Tetapi jika dibandingkan dengan kedhabithan perawi hadis dho’if tentu belum seimbang, hadis hasan lebih unggul[6]. Menurut perkataan Syaikh Islam Tirmidzi telah membedakan antara hadis Shohih dan hadis Hasan dalam dua hal, yaitu[7]:
1.      Bahwa derajat perawi hadis hasan haruslah berada dibawah derajat perawi hadits Shohih.tetapi pada perawi hasan lidzatihi tidak boleh tertuduh atas kebohongan, mastur, majhul dll, dan perawi Shohih haruslah seorang terpercaya (tsiqoh) dan perawi hasan lidzatihi harus mempunyai sifat Dzobd (tepat) tetapi itu saja tidak cukup harus tidak tertuduh atas kebohongan.
2.      Jalur perawi tidak hanya satu, seperti halnya yang diungkapkan oleh Tirmidzi dalam masalah ‘ilal dalam bukunya.
Naiknya hadits hasan ke derajat shohih bila suatu hadis hasan diriwayatkan dari jalur lain, maka ia menjadi kuat dan naik dari derajat hasan menuju derajat shohih. Karena perawi hadits hasan berada di bawah derajat perawi yang sempurna hafalannya, namun tetap berstatus adil. Sisi kekurangan daya hafal yang dikhawatirkan telah sirna dengan adanya jalur lain atau jalur-jalur lain yang menyumbat kekurangan itu dan naik dari hasan ke shohih[8].
Hadis shohih memiliki beberapa tingkat, para ulama telah berusaha untuk menjelaskan Ashahhul Asanid. Demikian pula dengan hadits hasan. Imam adz-Dzahaby mengatakan :”tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian ulama dikatakan sebagai sanad shohih, yakni menurupakan derajat shohih terendah. Kemudian sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dho’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lainnya”[9].

B.     Sejarah Imam Turmudzi
1.         Biografi Imam Turmudzi
Abu Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as-Sullami at-Turmudzi lebih dikenal dengan sebutan Abu Isa. Dalam karyanya al-Jami’ as-Sahih ia sering menggunakan nama tersebut untuk menyebut dirinya sendiri. Nama Abu Isa yang dipakai oleh at-Turmudzi tidak disepakati sebagian ulama karena bagi mereka Isa adalah sosok nabi yang tidak memiliki orang tua, secara maknawi dinilai salah kalau ada orang menyebut dirinya sebagai Abu Isa. Imam Turmudzi adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan at Turmudzi dan al ‘Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang terkenal yaitu Kitab al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadis terkenal. Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi at Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu Isa at Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya"[10].
Imam Turmudzi dilahirkan pada bulan Dzulhijjah tahun 209 H (824 M) dan wafat di Turmudz pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M). Imam Bukhary dan Imam Turmudzi adalah satu daerah sebab Bukhara dan Turmudz itu berada dalam satu daerah yaitu Waraun-Nahar. Beliau mengambil hadis dari ulama hadis yang ternama, seperti Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa, al-Bukhary dan lain-lainnya. Salah satu murid Turmudzi adalah Muhammad bin Ahmad bin Mahbub[11]. Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kembali dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang digunakannya dengan seorang guru dalam perjalanan menuju Makkah[12].

2.         Pandangan para kritikus Hadis
Abu ‘Isa at-Turmudzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadis, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadis, menggolongkan Turmudzi ke dalam kelompok "Tsiqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Turmudzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadis, menyusun kitab, menghafal hadis dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama." Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Turmudzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab al-Jarh wat-Ta’dil. Beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam[13].
Imam Turmudzi yang dilahirkan pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 279 H memiliki cacat fisik bawaan, yaitu tuna netra. Penyunting kitab Sunan at-Turmudzi Ahmad Muhammad Syakir menambahkan bahwa sebutan adh-Dharir kepada Turmudzi dikarenakan kondisinya yang buta di masa tua. Mengikuti penuturan Umar bin ‘Allak at-Turmudzi tidaklah buta sejak dilahirkan , melainkan mengalami kebutaan setelah mengadakan lawatan ke berbagai negeri untuk menghimpun  beberapa hadis Rasulullah saw dan menyusun al-Jami’ as-Shohih pendapat umar didukung oleh jumhur ulama[14].
3.               Karya Imam Turmudzi
Sebagai pecinta hadis, at-Turmudzi mencurahkan seluruh hidupnya untuk menghimpun dan meneliti hadis. Kualitas ilmu Turmudzi juga tercermin dari banyaknya karya yang dihasilkan terutama di bidang hadis dikukuhkan dengan sejumlah karya yang menghimpun dan mengupas tentang pribadi Rasulullah saw dari berbagai sisi, berikut daftar beberapa karya Turmudzi[15] :
  1. Kitab al-Jami’ as-Shohih, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
  2. Kitab al-‘Ilal
  3. Kitab at-Tarikh
  4. Kitab asy-Syama’il an-Nabawiyyah
  5. Kitab az-Zuhd
  6. Kitab al-Asma’ wal-Kuna
Karyanya yang mashyur yaitu Kitab al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadis terkenal. Sekilas tentang al-Jami’, Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Turmudzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Turmudzi. Namun nama pertamalah yang popular. Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Turmudzi. Setelah selesai menyusun kitab ini, Turmudzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Sunan at-Turmudzi ditulis pada abad ke-3H. abad ini termaksud periode penyempurnaan dan pemilahan hadis, maksudnya pada masa inilah berlangsung usaha gencar-gencaran untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang belum terpecahkan di masa sebelumnya, seperti kasus persambungan sanad dan kritik matan. Pemisahan antara hadis Rasulullah saw dan fatwa sahabat juga digalakkan pada periode ini. Sehingga melahirkan kitab-kitab hadis dengan corak baru, seperti kitab Shohih yang hanya mencantumkan hadis sahih dan kitab sunan yang berikhtiar merekam seluruh hadis kecuali hadis-hadis yang bernilai sangat dho’if dan munkar. Imam Turmudzi di dalam al-Jami’ tidak hanya meriwayatkan hadis shohih semata, tetapi juga meriwayatkan beberapa hadis hasan, dho’if, ghorib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadis yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits[16].
Turmudzi pada saat itu berupaya untuk menata hukum Islam berdasarkan Alquran dan sunnah. Akhirnya, semua kitab hadis yang lahir berorientasi kepada materi fikih. Sunan at-Turmudzi disusun berdasarkan urutan bab fikih, yaitu dari bab taharah sampai bab akhlak, doa, dan tafsir. Hadis-hadis dalam kitab tersebut dirangkum dengan model sistematika juz, kitab, bab dan subbab. Kitab ini disunting dan diberi penjelasan oleh tiga ulama ternama pada generasi sekarang, yaitu Ahmad Muhammad Syakir, Muhammad Fuad Abdul Baqi, dan Ibrahim Adwah Audah[17].
Diriwayatkan, bahwa Turmudzi pernah berkata: "Semua hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadis, yaitu:
  1. "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
  2. "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma’ ulama menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir. Hadis-hadis dho’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan meriwayatkan dan mengamalkan hadis semacam ini lebih mudah dibandingkan dengan persyaratan  hadis-hadis tentang halal dan haram.

BAB III
PERANAN IMAM TURMUDZI DALAM PEMBUKUAN HADIS HASAN
A.    Peranan Imam Turmudzi
Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits kebanyakan dari para ahli hadits muta’akhirin di dalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Isa At-Turmudzi (w. 279 H), istilah hadits Hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadis belum dikenal di kalangan para ulama ahli hadis. Pada masa itu hadis hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu hadits shohih dan hadits dho’if. Adapun setelah masa beliau terjadi perkembangan dalam pengklasifikasian hadis. Pada masa ini, hadits bila ditinjau dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadits sahih, hadits Hasan, dan hadits daif. Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan hal itu. Pendapat ini disandarkan kepada pendirian Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah
            Dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah berkata:“Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian ini (sahih, Hasan, dan daif) adalah Abu Isa at-Turmudzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa
at-Turmudzi, di kalangan ulama hadis pembagian tiga kualitas hadis ini tidak dikenal oleh mereka, mereka hanya membagi hadis itu menjadi sahih dan daif.”[18]. pendapat Ibn Taimiyah tersebut telah dikritik oleh ulama. Alasannya, istilah hasan telah dikenal sebelum zaman at-Turmudzi. Kritik tersebut tidak kuat sebab yang dimaksud oleh Ibn Taimiyah tampaknya bukan tentang mulai dikenalnya istilah hasan, melainkan tentang digunakannya istilah tersebut sebagai istilah yang baku bagi salah satu kualitas hadis[19].
Menurut Imam Ibnu Taimiyyah hadits daif pada masa sebelum Imam at-Turmudzi itu terbagi menjadi dua macam ;
1.      Hadits dho’if dengan kedho’ifan yang tidak terhalang untuk mengamalkannya dan dho’if ini menyerupai Hasan dalam istilah At-Turmudzi
2.      Hadits dho’if dengan kedho’ifan yang wajib ditinggalkan (tidak boleh diamalkan). Karena itu pada masa sebelum Imam at-Turmudzi, hadits Hasan dikategorikan ke dalam hadits dho’if, namun dengan kedho’ifan yang tidak terlalu parah hingga layak untuk diamalkan[20].
Itulah sebabnya di kalangan para ulama ada yang berpendapat bahwa hadits dho’if boleh diamalkan pada hal-hal yang tidak bersifat esensial, di antaranya seperti shiroh, tarikh, fadha’ilul‘amal dan mengamalkan hadits itu lebih mereka sukai daripada pendapat seseorang (ra’yu). Menurut Imam Ibnu Taimiyyah hadits Hasan yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut adalah hadis yang menempati derajat hasan pada istilah at-Turmudzi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa istilah hasan hanya tertuju untuk kualitas hadis dan kualitas sanad, serta tidak untuk kualitas matan secara sendirian[21].
Adapun posisi Imam at-Turmudzi dalam hal ini hanya sebagai orang yang memasyarakatkan istilah ini dengan cara banyak sekali memuat hadis-hadis yang berderajat Hasan pada kitabnya yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan at-Turmudzi, bukan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut. Karena itu Imam an-Nawasi berkata: Kitab hadis at-Turmudzi merupakan sumber pokok dalam mengenal hadits Hasan dan beliaulah yang memasyarakatkannya (istilah ini)”[22]. Dalam menggunakan istilah Hasan ini Imam At-Tirmidzi mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya yaitu Muhammad Ismail Al-Bukhari dan Ali bin Al-Madini (guru Imam Al-Bukhari) guna memisahkan pengelompokkan hadits Hasan ke dalam hadits sahih oleh sebagian para ulama menurut Ibnu Shalah, pengelompokan ini semata-mata ditinjau dari segi kebolehan hadits Hasan untuk dijadikan hujjah[23].
B.     Bukti-bukti penggunaan istilah Hasan sebelum masa Imam at-Turmudzi
Berdasarkan penelitian ditemukan beberapa contoh istilah Hasan yang dipergunakan oleh para ulama sebelum Imam at-Turmudzi ketika menerangkan kedudukan sebuah hadis. Di bawah ini disebutkan beberapa di antaranya:
1.      Imam As-Syari’i (w. 204 H) ketika menerangkan hadits ru’yah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam kitabnya Ikhtilaf Al-Hadits. Ia berkata:
Hadits Ibnu Umar musnad (bersambung dari awal sanad hingga akhir), sanadnya Hasan
Masih dalam kitab yang sama pada kasus yang berbeda, ditemukan perkataan beliau:
“Aku mendengar ada orang yang meriwayatkan dengan sanad yang Hasan, sesungguhnya Abu Bakrah memberitahu kepada Nabi SAW. bahwa ia ruku’ tidak pada shaf[24]
2.      Dalam kitab Majma Az-Zawaid pada bab al-Imamah tertulis,
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, hendaklah orang yang lebih fasih bacaan Alqurannya dalam suatu kaum.” H.R. Al Bazzar. Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama
al-Hasan bin Ali an-Naufali al-Hasyimi, dia itu dho’if. Sungguh al-Bazzar(w. 292 H) menganggap haditsnya Hasan[25].
3.      Pada hadis mengenai perintah Rasulullah SAW. tentang menyela-nyelai jari tangan dan kaki pada waktu berwudu, pengarang Tuhfah Al-Muhtaaj berkata:
Dia(at-Turmudzi berkata pada (kitab) al-‘Ilahnya, aku bertanya kepada al-Bukhari (w. 256 H) tentang hadits, ini ia berkata, hadis ini Hasan[26]”.
4.      Pada sebagian penjelasan Imam as-Syaukani pada hadis tentang waktu salat maghrib ia berkata:
at-Turmudzi berkata pada kitab al-Ilal, hadis itu dianggap Hasan oleh al-Bukhari[27]”,
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami berkesimpulan bahwa pemakaian istilah Hasan dalam mengklasifikasikan suatu hadis berdasarkan kualitasnya, sudah dilakukan oleh beberapa guru Imam at-Turmudzi dan generasi sebelumnya walaupun tidak memasyarakat. Dengan demikian terbantahlah pendapat Imam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa Imam at-Tirmidzi sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah hadis Hasan.
BAB IV
A.    Kesimpulan
1.      Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya dan terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan keraguan antara hadis shohih dan hasan yang paling penting adalah batasan bahwa keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedang pada hadis shohih melekat pada rawi yang benar-benar kuat ingatannya.
2.      Imam Turmudzi adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan at Turmudzi dan al-‘Ilal. Imam Turmudzi adalah orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas Shohih, Hasan, Dho’if.
3.      posisi Imam at-Turmudzi dalam hal ini hanya sebagai orang yang memasyarakatkan istilah ini dengan cara banyak sekali memuat hadis-hadis yang berderajat Hasan pada kitabnya yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan at-Turmudzi, bukan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut.
4.      Penggunaan istilah Hasan ini Imam at-Tirmidzi mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya yaitu Muhammad Ismail al-Bukhari dan Ali bin al-Madini (guru Imam al-Bukhari) guna memisahkan pengelompokkan hadis Hasan ke dalam hadis shohih.
B.     Saran
Penulis mengharapkan agar makalah ini bermanfaat bagi seluruh pembacanya sebagai bahan pertimbangan. Banyak sekali kekurangan dalam makalah ini diharapkan bagi pembaca agar sering membaca buku yang berhubungan dengan makalah ini agar dapat digunakan sebagai bahan perbandingan.




[1] Mudasir, Ilmu Hadis, CV.Pustaka Setia Bandung:1999, hlm:151
[2] Muhammad Thohan, Taisir Mushthalah Hadits, edisi 5, Riyadh:2000,hlm  57
[3]Abdul Majid Khon,  Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta:2008, hlm 159
[4]Imam  Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib Rowi fii Syarhi Taqriibi an-Nawaawi,  Dar el Fikr, Beirut:2006, hlm 94
[5] Subhi ash-Shalih penerjemah Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta:1995, hlm 142
[6] Abdul Majid Khon,  Op.cit
[7] Imam  Jalaluddin as-Suyuthi, Op.cit ,hlm 96
[8] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushul al-Hadts pokok-pokok ilmu hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta:2007, hlm 300
[9] Ibid
[10] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, Insan Madani, Yogyakarta:2008, hlm 81
[11] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, PT.al-Ma’arif, Yogyakarta, hlm 382
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi
[13] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, Insan Madani, Yogyakarta:2008, hlm 82-83
[14] Ibid
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi

[16] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, Insan Madani, Yogyakarta:2008, hlm 83-85
[17] Ibid, hlm 85-86
[18] Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu Fatawa ,XVII: 23 & 25
[19] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta:1995, hlm 84
[20] http://ryzqah.blog.friendster.com/2006/08/hadits-hasan-dalam-lintasan-sejarah
[21] Syuhudi Ismail, Op.cit, hlm 84
[22] at-Taqrib wa at-Taisir, 1985:30
[23] Lihat Qowaid Ushul Hadits :71
[24] Lihat at-Taqyid wa Al-Idhah, Syarah Muqaddimah Ibnu Shalah, 1981: 52 dan Tadrib Ar-Rawi, 2006: 103 –104
[25] Lihat Majma Az-Zawaid, 1986, II: 67.
[26] Lihat Tuhfah Al-Muhtaaj, I: 188. Nailaul Authar, 1989, I: 190.
[27] Lihat Nailul Author, I:382.   

Senin, 15 November 2010

modernisasi dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN
Pembaharuan pemikiran dalam Islam tidak lepas dari rasa keprihatinan dan kepeduliannya terhadap kondisi umat Islam karena kondisi internal umat Islam sudah tercemar oleh perbuatan bid’ah, khurafat dan tahayyul. Sejak adanya penetrasi peradaban barat kondisi umat Islam sangat sulit berkembang karena, pembaharuan pemikiran Islam pada awal abad 19 telah dipelopori oleh dua tokoh modernis Islam yaitu, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang lebih berkiblat pada peradaban Barat dan pikiran-pikirannya dengan semangat liberalisme dan rasionalisme. Dalam sejarah pembaharuan pemikiran Islam telah berkembang selama 2 abad, dalam waktu itu banyak sekali perubahan dan pasang surut baik bersifat sosial, politik, ekonomi maupun intelektual dan perubahan pandangan hidup masing-masing.
Pada zaman modern seperti saat ini , ada dua trend (kecenderungan) aliran pemikiran Islam kontemporer. Yaitu :
1.      Trend pemikiran Islam yang mengutamakan perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah berdiri kokoh sejak berabad-abad yang lalu serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif dari gerak arus pembangunan dan medernisasi dalam segala bidang.
2.      Trend Pemikiran Islam yang bersifat kritis. Berawal dari pengaruh pemikiran filosofis-kritis terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk di dalamnya adalah gugusan pemikiran keagamaan.
Trend pemikiran Islam yang kedua lebih memfokuskan pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam rangka membangun sebuah tradisi keagamaan yang selalu up to date dan tanggap dengan tantangan jaman. Dalam segi sejarah , perkembangan pemikiran dalam Islam menurut Fazlur Rahman terdapat empat tahap ,yaitu :
1.      Revivalisme awal
2.      Modernis klasik
3.      Revivalisme pasca modernis atau Neorevivalisme
4.      Neomodernisme
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Neomodernisme bersikap kritis terhadap warisan kesejarahan Islam maupun terhadap modernisme (Barat). Dengan sikap kritis ini, kelangsungan hidup Islam sebagai suatu sistem doktrin dan praktek di dunia dewasa ini dapat terjaga. Menyangkut warisan kesejarahan Islam, Neomodernisme melakukan kritisme ilmiah pada seluruh kandungan ilmiah (hukum-hukum rumusan para ulama) dan diperlukan suatu penafsiran al-Qur’an yang sistematis. Dan umat Islam harus mengembangkan metodologi yang rasional untuk mempelajari al-Qur’an. Pada tahap Neomodernisme pendekatan secara sosio-historis, tradisi dianggap sebagai pengetahuan pertama dalam memahami latar belakang sosiologis Al-Qur’an dan As-Sunnah , sehingga dapat menghasilkan pemikiran yang benar sesuai dengan keinginan.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan latar belakang modernisme Islam
Dalam Al-Qur’an terkandung penegasan bahwa kaum Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih). Janji Allah di atas terbukti dengan kenyataan bahwa sebagian besar halaman sejarah Islam selama empat belas abad diwarnai oleh kisah ekspansi dan kemenangan. Hanya satu abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, pada pertengahan abad ke-8 kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang. Meskipun pusat kekhalifahan di Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada pertengahan abad ke-13, dengan takdir Allah laskar penakluk ini berduyun-duyun masuk Islam dan menyebarkan agama ini di Rusia, lalu keturunan mereka menegakkan kesultanan Moghul (Mongol) di India dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Ketika umat Islam terusir dari Spanyol pada akhir abad ke-15, muncul kesultanan Turki yang menguasai seluruh Semenanjung Balkan sampai awal abad ke-20. Bahkan ketika hegemoni politik Islam mulai redup pada abad ke-17, Islam melalui jalur perdagangan tersebar luas di Asia Tenggara dan pantai timur Afrika Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern[1].
Kata modern, modernitas, modernisasi dan modernisme[2] merupakan satu makna tetapi lain kata, kata ini berasal dari barat tetapi telah digunakan dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kata modern diartikan sebagai yang terbaru, mutakhir[3]. Kata modern ada kaitannya dengan modernisasi yang artinya pembaharuan atau tajdid dalam bahasa arab. Pikiran dan aliran modernisme muncul antara tahun 1650-1800M. dalam sejarah Eropa dikenal sebagai The Age of Reason atau Englightenment, yakni masa pemujaan akal atau masa pencerahan[4]. Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan[5].
            Awal modernisme Islam dimulai pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam. Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi dikalangan umat Islam.
Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad 20[6]. Modernisasi telah terjadi sejak lima abad yang lalu sedangkan di kawasan dunia yang sedang berkembang, modernisasi baru terjadi sekitar abad satu yang lalu. Modernisasi sebagai proses ketika suatu masyarakat atau kawasan tertentu berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan dan kesempatan masa, bertujuan memajukan pembangunan ekonomi, harmoni social, dan stabilitas politik. Dengan kata lain modernisasi mencakup perubahan-perubahan dalam semua kawasan pemikiran dan kegiatan manusia, atau seperti dinyatakan oleh pakar terkemuka modernisasi, Alex Inkeles, perubahan tersebut mencakup keseluruhan sikap terhadap problem kehidupan, masyarakat, dan alam semesta[7].
Gerakan modernisasi dalam Islam timbul sebagai respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam, dalam hubungan ini terdapat beberapa prediksi penyebab kemunduran umat Islam, yaitu :
1)      Karena umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran yang datang dari luar Islam
2)      Sebab politis yaitu peperangan sesama umat Islam untuk memperebutkan kekuasaan, memberi kepercayaan pimpinan umat kepada seseorang yang tidak bertanggung jawab, pertahanan militer dan intervensi kekuatan Asing.
3)      Karena lemahnya persaudaraan Islam.
4)      Karena masuknya berbagai macam bid’ah kedalam Islam[8].
Manusia modern atau biasa disebut “sindrom modernitas” menurut inkeles mempunyai tujuh ciri khas : keterbukaan terhadap pengalaman baru, penegasan terhadap (Assertion) peningkatan kebebasan individu, percaya dengan efficacy sains memiliki ambisi pribadi, memberi penghargaan yang tinggi terhadap waktu dan perencanaan, kesadaran dan perhatian (interest) terhadap urusan sipil (civic) dan politik, serta lebih perhatian terhadap berita internasional dan nasional daripada lokal[9]

B.     Modernitas Islam di Indonesia
Ide Pembaruan dalam Islam dikenal sebagai Neo-Modernisme Islam Indonesia merupakan kombinasi dari dua unsur penting dalam peradaban Islam Indonesia, yaitu: Modernism dan Tradisonalisme. Kehadiran modernisme tidak mungkin dihindari. Tetapi, dengan mengakomodasikan ide-ide modernisme tersebut tidak berarti bahwa tradisionalisme harus dibuang. Neo-Modernisme jauh lebih siap untuk menerima ide-ide paling maju yang dikalangan modernis dan pada saat yang sama, juga bisa mengakomodasi pandangan kaum tradisionalis (salaf). Oleh karena itu, kebangkitan kaum Neo-Modernis dimaksudkan untuk menjembatani dua unsur peradaban Islam di Indonesia tersebut serta mengkombinasikan kelebihan masing-masing. Sekulerisasi adalah akibat yang wajar dari proses modernisasi dalam batas tertentu telah mengakibatkan berkurangnya peran secara tradisonal yang dimainkan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Karena semangat keagamaan baru juga tumbuh sejalan dengan proses modernisasi dan sekularisasi akhirnya mendapatkan tempat didalamnya. Beliau menambahkan bahwa aspirasi keagamaan telah mendapatkan sarana baru untuk dikembangkan yaitu dengan modernisasi dimana pendekatan ilmiah dan empiris juga dapat digunakan untuk me-reinterpretasi pesan-pesan universal Islam bagi kemaslahatan sosial dan budaya Islam[10].
Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan tokoh-tokoh modernis kemudian mempengaruhi tokoh-tokoh Islam di Indonesia dan timbullah pula dikalangan kita usaha modernisasi yang dimulai pada permulaan abad ke 20. Secara kelembagaan modernisme Islam di Indonesia ditandai dengan lahirnya Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta dan Persatuan Islam pada tahun 1920 di Bandung[11].
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, selain secara kelembagaan juga lahir tokoh-tokoh modernis Islam seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Amin Rais dan Abdurahman wahid. Sementara menurut Nurcholish Madjid, modernisasi adalah rasionalisasi, yaitu proses perombakkan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional[12]. Sedangkan Harun Nasution berpendapat bahwa penyebab keterbelakangan umat Islam di Indonesia karena lambatnya dalam mengambil bagian dari proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional. Dan kata Cak Nur agama harus memiliki tiga hal, yaitu :
1)      Way of life yang bisa dirasakan secara mendalam oleh pribadi
2)      Organisasi sebagai rangka
3)      Unsur keagamaan haruslah relevan dengan kehidupan nyata
Dan menurut gagasan pembaharuan pemikiran Cak Nur, dirancang melalui tiga proses yang saling kait mengkait. Pertama, sekularisasi. Maksudnya menduniakan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi, dan melepas umat Islam dari kecenderungan yang mengkhawatirkan. Kedua, kebebasan intelektual. Jika kebebasan intelektual hilang akan mempengaruhi hilangnya wawasan dan gagasan yang segar. Ketiga, gagasan mengenai kemajuan dan sikap terbuka, Islam harus dilandasi Al-Qur’an dan Sunnah disamping harus diperkaya dengan warisan pemikiran budaya bangsa lain[13].
Dalam pengamatan Amin Rais peracunan Barat sering dibungkus atas nama modernisasi. Dengan program modernisasi, barat terus melakukan proses sekularisasinya. Dalam pandangan Amin sekularisme menolak keyakinan pada yang gaib, Allah SWT, wahyu-Nya dan pada hari pembalasan. Dalam menghadapi masyarakat modern yang sekularistik Amin cenderung menawarkan jalan keluar yang alternative yaitu, menganjurkan proses Islamisasi Ilmu dan Teknologi. Sedangkan Gus Dur menyatakan : “antara modernisasi dan agama adalah menyatu”[14]. Jika modernisasi dilepaskan dari agama, maka modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai.jika itu terjadi maka akan meruntuhkan nilai-nilai lama yang sudah ditetapkan oleh agama.
Dari serangkaian uraian pemikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa profil masyarakat modern adalah masyarakat dengan budaya industri. Yaitu masyarakat yang mengembangkan cara berfikir ilmiah. Namun modernisasi di dunia Islam belum membawa hasil yang dikehendaki, dikarenakan persoalan-persoalan yang dapat mempersulit dan memperlambat lancarnya usaha modernisasi itu, antara lain :
1)      Modernisasi mengandung arti perubahan, sedangkan agama dengan dogma yang ada didalamnya tidak mudah menerima perubahan itu. Semakin banyak dogma dalam suatu agama semakin keras agama mempertahankan keadaan statis, dan semakin sulit modernisasi dijalankan dalam masyarakat yang menganut agama serupa itu.
2)      Tradisi yang kemudian timbul dalam sejarah perkembangan suatu agama mempunyai sifat mengikat yang kuat, sehingga akhirnya tradisi yang mendatang itu merupakan dogma-dogma yang dianggap tidak boleh dilanggar atau diubah.
3)      Sifat fanatisme yang mempersempit pandangan hidup seseorang. Karena pada umumnya orang berpendapat bahwa yang benar hanya satu.
4)      Paham fatalistis berkeyakinan bahwa nasib tiap orang telah ditentukan azal. Dalam paham fatalisme orang bersikap pasif, padahal modernisasi menghendaki keaktifan.
5)      Aliran teologi tradisionalserta hadits dan kurang memakai rasio untuk memahami kedua teks itu. Dalam cara berfikir umat Islam masih banyak dipengaruhi daripada bersikap rasional[15].
Kebudayaan modern yang ada ditangan orang atau bangsa Eropa dan Amerika memang ada aspek kepincangan spiritual, sehingga tugas umat Islam untuk melengkapi kepincangan tersebut dengan kekayaan spiritual Islam yang dimiliki. Sehingga, akan tercipta sinergi rasionalitas dan spiritualitas dalam satu paket pemikiran dan peradaban masa depan.











BAB III
KESIMPULAN
1.      Kata modern ada kaitannya dengan modernisasi yang artinya pembaharuan atau tajdid dalam bahasa arab. Istilah “modern” Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Dengan kata lain modernisasi mencakup perubahan-perubahan dalam semua kawasan pemikiran dan kegiatan manusia, atau seperti dinyatakan oleh pakar terkemuka modernisasi, Alex Inkeles, perubahan tersebut mencakup keseluruhan sikap terhadap problem kehidupan, masyarakat, dan alam semesta
2.      Secara kelembagaan modernisme Islam di Indonesia ditandai dengan lahirnya Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta dan Persatuan Islam pada tahun 1920 di Bandung. selain secara kelembagaan juga lahir tokoh-tokoh modernis Islam seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Amin Rais dan Abdurahman wahid. dapat disimpulkan bahwa profil masyarakat modern adalah masyarakat dengan budaya industri. Yaitu masyarakat yang mengembangkan cara berfikir ilmiah.



[1] Drs.H.Irfan Anshory,Artikel Majalah “Suara Muhammadiyah”,tahun ke-87 no.8, 16-30 April 2002
[2] Modern adalah bentuk baru ,muktahir. Modernitas adalah keadaan modern. Modernisasi adalah gerakan untuk menuju kehidupan yang baru. Modernisme adalah gaya hidup modern.dikutip dari M.Dahlan Al-Barry, Kamus Modern Bahasa Indonesia,(Yogyakarta:Arkola:1994),hlm 408-409
[3] Taufiq Abdullah, Islam dan Pembentukkan Tradisi di Asia Tenggara,(Jakarta:LP3ES:1989),hlm 69
[4] Tim penyusun Studi Islam IAIN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam ,(Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press:2004),hlm 238
[5] Drs.H.Irfan Anshory, Opcit
[6] Drs.H.Irfan Anshory,Artikel Majalah “Suara Muhammadiyah”,tahun ke-87 no.8, 16-30 April 2002
[7] M.Rusli Karim, HMI MPO dalam kemelut  Modernisasi politik di Indonesia pengantar:Eggi Sudjana, (Bandung:Mizan:1997),hlm 43-44
[8] Tim penyusun Studi Islam IAIN Ampel Surabaya, Opcit ,hlm 241
[9] M.Rusli Karim, Opcit, hlm 45
[11] Tim penyusun Studi Islam IAIN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam ,(Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press:2004), hlm 244
[12] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, pantulan sejarah Indonesia,(Jakarta:LP3ES:1987),hlm 142
[13] Tim penyusun Studi Islam IAIN Ampel Surabaya, Opcit ,hlm 245-247
[14] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, pantulan sejarah Indonesia,(Jakarta:LP3ES:1987),hlm 89
[15] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,(Jakarta:LP3ES:1980),hlm 24