Sabtu, 16 April 2011

larangan jual beli anak binatang dalam kandungan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dengan sifat saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak seorang pun yang dapat memiliki seluruh apa yang diinginkannya, akan tetapi sebagian orang memiliki sesuatu yang orang lain tidak memiliki namun membutuhkannya.
Untuk itu Allah memberikan ilham kepada mereka, untuk mengadakan pertukaran perdagangan dan semuanya yang kiranya bermanfaat, baik dengan cara jual beli dan semua cara perhubungan yang didalam kajian fiqh disebut dengan mu’amalah. Mu’amalah ialah hukum syari’at yang bersangkutan dengan urusan duniawi, dengan memandang kelanjutan hidup seseorang, seperti jual beli, tukar menukar, pinjam meminjam, beri memberi, dll.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang hadits yang menjelaskan jual beli yang masih samar barangnya. Fokusnya terhadap  hadits yang menjelaskan tentang permasalahan dilarangnya jual beli binatang yang masih berada dalam kandungan. Pun dengan pendapat sebagian ulama mengenai hukum jual beli tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas kami akan merumuskan masalah sebagai berikut :
  1. pengertian jual beli
  2. Hadis mengenai jual beli anak binatang dalam kandungan
  3. hukum jual beli anak binatang dalam kandungan

C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas tujuan masalah ini adalah :
  1. Agar mengetahui apa itu jual beli
  2. Agar mengetahui apa itu jual beli anak binatang dalam kandungan
  3. Agar mengetahui hukum jual beli anak binatang dalam kandungan
BAB II
LARANGAN JUAL BELI BINATANG DALAM KANDUNGAN
A.    Pengertian Jual Beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’u,
al-Tijaarah dan al-Mubaadalah. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan jual beli berarti menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan Syara’, saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (Tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan Syara’. Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan), penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh Syara’ dan disepakati. Jual beli ada yang yang dilarang dan ada yang diperbolehkan, dalam makalah ini kami akan membahas salah satu jual beli yang dilarang, yaitu jual beli binatang dalam kandungan (بيْعُ حَبَلِ الْحَبَلة)[1]

B.      Hadits Mengenai Larangan Jual Beli Binatang Dalam Kandungan
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع حبل الحبلة وكان بيعا يتبا يعه اهل الجاهلية كان الرجل يبتع الجزور الى ان تنتج الناقة ثم تنتج التى فى بطنها.[2]                                                                                        
 Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwasannya Rosululloh saw melarang dari menjual apa (janin) yang masih dalam perut onta, hal itu merupakan jual beli yang berjalan dimasa jahiliyah, dulu, seseorang menjual onta sampai dilahirkannya anak onta, kemudian (menjual) apa yang didalam perutnya.(Muttafaq ‘Alaih dan lafadznya adalah lafadz Bukhori)[3]
حدثنا قتيبة. حدثنا حما دبن زيد, عن ايوب, عن نا فع, عن ابن عمر,, ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع حبل الحبلة.                                                                                                                                                 
Qutaibah menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar: bahwasannya Rosululloh saw melarang menjual anaknya hewan yang berada dalam kandungan.
Didalam bab ini ada hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dan Abu Said Al-Khudzriy. Hadistnya ibnu umar hadist hasan shahih. Yang mengamalkan hadist ini adalah sebagian ulama’. Adapun habalul habalah adalah Menjual anak dari anaknya binatang yang akan dilahirkan, atau penjualan anak hewan dengan harga yang akan diserahkan ketika anaknya beranak. Akad ini tidak sah. Jual beli semacam ini menurut ulama’ adalah jual beli yang rusak (batal) dan termasuk tipuan. Syu’bah telah meriwayatkan hadist ini dari ayyub dari sa’id bin jubair dari ibnu Abbas. Abdul Wahhab As tsaqafi dan yang lainnya meriwayatkan hadist ini dari ayyub dari sa’id bin jubair dan nafi’ dari umar dari nabi .saw. Hadist inilah yang paling shohih.[4]

C.    Hukum Jual Beli Binatang dalam Kandungan
Jual beli anak binatang  dalam kandungan termasuk jual beli gharar, karena terdapat dua perkara yang tidak jelas. Jual beli gharar adalah Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.[5] Oleh sebab itu, tidak boleh dipraktekkan. Dan hukum jual beli gharar dalam syari’at Islam,termasuk  jual beli terlarang, dengan dasar sabda:  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.(HR.Muslim)
Selain At-tirmidzi, Al-Baghawipun berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/137), "Inilah pendapat yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu, yaitu menjual anak unta yang masih dalam kandungan tidak boleh karena barang yang dijual masih belum jelas dan belum ada. Jual beli ini termasuk jual beli Jahiliyyah. Andai kata ia menjual binatang dengan harga tertentu hingga binatang tersebut lahir juga bathil karena belum ada kejelasannya."dan juga Ibnu Hibban berkata (XI/323), "Larangan jual beli habalul habalah adalah seseorang membeli unta (dengan pembayaran bertempo) yang harus ia lunasi pembayarannya sampai unta tersebut beranak kemudian anak yang dilahirkannya itu beranak pula. Terdapat dua bentuk ketidakjelasan dalam jual beli ini dan tidak boleh dipraktekkan.[6]
. Menjual barang yang tidak jelas adalah terlarang setiap transaksi perdagangan yang memberi peluang terjadinya persengketaan, karena barang yang dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli, atau karena karena ditakutkan salah satu ada yang menipu. Cara ini dilarang oleh Rasulullah sebagai uasah menutup pintu perbuatan maksiat. Larangan ini berkisar karena beberapa sebab:
a. karena ada usaha membantu perbuatan maksiat
b. karena ada unsur-unsur penipuan
c. karena ada unsur-unsur pemaksaan
d. karena adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian dan sebagainya.
Karena itu, dilarang pula menjual binatang yang masih dalam kandungan, menjual burung yang terbang di udara, dan semua macam jual beli yang terdapat unsur-unsur yang masih samar. Ini semua karena tidak diketahui secara pasti benda yang dijual itu.
Akan tetapi, tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak lepas dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak mungkin ia dapat mengetahui pondasi dan apa yang ada didalam temboknya itu. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara yang batil.[7]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli anak hewan dalam kandungan adalah dilarang, karena ini termaksud jual beli gharar. Jual beli gharar adalah Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan. Hukum jual beli gharar dalam syari’at Islam,termasuk  jual beli terlarang, dengan dasar sabda:  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.(HR.Muslim).
Akan tetapi, tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak lepas dari kesamaran. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
B.     Saran
Kami sebagai penulis tidak luput dari kesalahan, karena kami hanyalah manusia biasa. Karena itu kami berharap adanya kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan kami agar menjadi lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA
Qaradhawi, Yusuf, Halal dan haram (Bandung, Jabal: 2007)
al-Asqolani, Ibnu Hajar, Bulughu al-Maram, (Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah:2002),146
Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006)
Sunarto, Achmad, Teremah Shahih Bukhori,( Cv Asy-Syifa’: Semarang, 1991)
Zuhri, Mohammad , Terjemah Sunan Tirmidzi,( Cv Asy syifa’: Semarang :1991)

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada:2007),67-69



[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada:2007),67-69
[2]Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughu al-Maram, (Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah:2002),146
[3]Achmad Sunarto, Teremah Shahih Bukhori,( Cv Asy-Syifa’: Semarang, 1991), 557.
[4] Moh.Zuhri , Terjemah Sunan Tirmidzi, (Cv Asy syifa’: Semarang :1991),579-580.
[5]Ibnu Hajar al-Asqolani, Op.cit, (Jakarta, Dar al-Kutub al-Islamiyah:2002),146
[6]Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), J.1/297-298
[7]Yusuf Qaradhawi. Halal dan haram (Bandung, Jabal: 2007), 259

tafsir surat al-jumu'ah ayat 9, tentang jual beli


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’u,
al-Tijaarah dan al-Mubaadalah. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan jual beli berarti menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan Syara’, saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (Tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan Syara’. Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan), penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh Syara’ dan disepakati.
jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar
menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad
yang mengikat kedua belah pihak tukar menukar yaitu salah satu pihak
menukarkan ganti penukaran atas sesuatu yang dutukarkan oleh pihak lain. Dan
sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat
(bentuk) ia berfungsi sebagai objek penjualan, bukan mafaatnya atau hasilnya.
Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik,
penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan hutang baik benda itu ada dihadapan pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.[1] Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang ayat Alquran yang berhubungan tentang jual beli, khususnya pada saat sholat jum’at

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah :
1.      Menjelaskan surat dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan jual beli
2.      Menjelaskan arti mufrodat dan munasabah ayat yang berkenaan dengan jual beli
3.      Menjelaskan isi kandungan yang terdapat pada ayat yang berkenaan dengan jual beli

C.    Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah ini adalah :
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui surat yang berkenaan dengan jual beli
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui arti mufrodat dan munasabah ayat tersebut
3.      Agar mahasiswa dapat mengetahui isi kandungan ayat tersebut dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari




BAB II
SURAT AL-JUMU’AH AYAT 9
A.    Ayat
 
Wahai orang-orang yang beriman!apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.[2]

B.     Makna mufrodat
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ: jika seorang muadzin telah mengumandangkan adzan saat Imam telah duduk diatas minbar.
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ : pada hari juma’at setelah zawal (matahari persis ditengah-tengah)
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ : tunaikanlah Sholat
وَذَرُوا الْبَيْعَ : tinggalkanlah jua-beli, karena jika tiada penjualan maka tiada pembelian
Yang dimaksud dengan Nida’ disini adalah adzan yang dimana Imam sudah berada diatas minbar,  pada awalnya adzan ini Cuma dilakukan 1 kali, lantas Utsman adzan menjadi 2 kali dikarenakan banyaknya orang yang hendak sholat jum’at di Madinah. Kata jum’ah  jim dan mim dhommah, sukun pada mim,al-Juma’  adalah jama’ seperti pada kata ghurfatun adalah ghurofun dan juga jum’aat seperti ghurfaat, harinya disebut al-‘Aruubah yang pertama kali menyebutnya dengan jum’at adalah Ka’ab bin Lu’ai (al Anshar). yang dimaksud dengan Sa’aa disini aalah dengan berlari atau tergessa-gesa melainkan berjalan pelan-pelan. Dalam hadits shohih dikatakan: jika telah didirikan sholat maka janganlah kalian tergesa-gesa tetapi dirikanlah dengan tenang. Dzikrullah adalah sholat dan khutbah jum’at karena iulah ayat ini menggunakan kata Dzikrullah .[3]

C.    Munasabah
Sebelum ayat ini Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwasaanya kaum yahudi menghindari kematian karena kecintaan mereka terhadap dunia dan isinya, maka dari itu Allah SWT menuntun mu’minin untuk beramal baik yang bisa menguntungkan mereka tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat, diantaranya melaksanakan sholat jum’at. Sesungguhnya segala pernak pernik di  dunia hanyalah sementara akhiratlah yang kekal selamanya, allah berfirman dalam surat al-A’laa ayat 17 :
 
Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal[4]
Kemudian Allah menerangkan bahwa ketika Nabi sedang berkhotbah di atas minbar, mereka meninggalkan beliau untuk bermain dan berdagang. Sebagian dari mereka menjauh hanya untuk mendengarkan tabuhan genderang dan menyaksikannya, sebagian yang lain menghindar dari jama’ah jum’at untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam berdagang. Allah memperbolehkan kaum muslimin untuk kembali ke pekerjaan mereka setelah melaksanakan sholat jum’at,[5] dalam firman-Nya surat al-qoshosh ayat 77 :
Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# (
Dan jangan kamu melupakan bagianmu atau nasibmu dari dunia (dengan bekerja)[6]
Thahir Ibn ‘Asyur menggaris bawahi bahwa ayat 9 dan 10 inilah yang menjadi tujuan surat ini, sedangkan kelompok ayat-ayat sebelumnya dinilai sebagai pengantar untuk tujuan tersebut.[7]

D.    Makna ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا barang siapa yang percaya kepada Allah dan RasulNya
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَة jika seorang muadzin telah mengumandangkan  adzan pada saat matahari tengah berada ditengah dan Imam juga telah duduk di atasa minbar.
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ bersegeralah untuk menunaikan dzikir kepada Allah yaitu dengan sholat dan khutbah karena dengan keduanya kalian akan ingat Allah. وَذَرُوا الْبَيْعَ jika perdagangan merupakan mata pencaharian utama masyarakat maka tinggalkanlah itu, jika bukan maka segala apa pekerjaan yang dilakukan masnuisa harus ditutup terlebih dahulu untuk menunaikan sholat jum’at. ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم تَعْلَمُونَ meninggalkan pekerjaan seperti perdagangan (penjualan), pembelian, dll dan bersegera untuk menunaikan sholat jum’at dan mendengarkan khutbah adalah ganjaran yang lebih baik.[8]

E.     Penjelasan Ayat
Ayat ini menyatakan bagi orang-orang yang beriman, apabila diseru yakni dikumandangkan adzan oleh siapapun untuk sholat dhuhur hari jum’at, maka bersegeralah kuatkan tekad dan langkah, jangan bermalas-malasan apabila mengabaikannya, untuk menuju dzikrullah menghadiri sholat dan khutbah jum’at, dan tinggalkanlah jual beli yakni segala macam interaksi dalam bentuk dan kepentingan apapun bahkan semua yang dapat mengurangi perhatian terhadap upacara jum’at. Untuk menghilangkan kesan bahwa perintah ini adalah sehari penuh, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang Yahudi pada hari sabtu, maka dilanjutkan ayat setelahnya yang mengandung arti : “lalu apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah sebagian dari karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.[9]
Kata min dalam ayat ini berarti fii yaitu pada hari jum’at dan dibaca al-Jumuatu dengan huruf mim dibaca dhommah, bisa juga dibaca sukun atau fathah. Asal katanya adalah dengan dhommah, sedangkan sukun untuk meringankan bacaan dan fathah sebagai serapan dari kata kerjanya, seakan-akan kata ini berarti mengajak kaum muslimin untuk berkumpul. Kata وَذَرُوا الْبَيْعَ dari segi balaghoh mengandung majaz mursal, yang disebutkan disini hanya jual beli, sedangkan maksud sebenarnya adalah segala bentuk muamalah serta kesibukan baik itu jual beli ataupun yang lainnya. Kata نُودِي لِلصَّلَاةِ adalah berarti pembacaan adzan kedua yang dilaksanakan di depan Nabi, yaitu ketika beliau berada di atas minbar sebelum memulai khutbah. Penjelasan untuk kata إِذَا dinamakan مِن يَوْمِ الْجُمُعَة karena pada hari itu orang-orang berkumpul guna melaksanakan sholat jum’at, orang Arab menyebutnya al-‘Aruubah yaitu kasih sayang. Ibnu Hajar berkata : sholat jum’at diwajibkan sejak di Makkah, tetapi belum dilaksanakan karena kurangnya jama’ah, juga karena syiar sholat jum’at adalah terang-terangan sedangkan dakwah Nabi masih sembunyi-sembunyi pada waktu itu.  Kata فَاسْعَوْا yang berarti berjalan, digunakan kata sa’yun (usaha) sebagai syarat agar kaum muslimin melaksanakan sholat jum’at dengan kemauan kuat dan semangat tinggi serta kesungguhan yang nyata untuk melaksanakan sholat. Jika telah terdengar panggilan sholat jum’at maka tinggalkanlah segala urusan jual beli dan semua bentuk muamalah, karena sesungguhnya usaha untuk beribadah kepada Allah lebih baik dari muamalah. Karena sesungguhnya manfaat Akhirat itu jauh lebih baik dan kekal abadi.[10]  
Ayat ini menjelaskan apabila telah mendengar panggilan sholat jum’at bersegeralah pergi untuk mengikuti khutbah dan sholat jum’at. Maksud dari ayat ini adalah tinggalkan segala bentuk kepentingan baik jual beli, sewa, gadai,dsb, untuk sholat jum’at dengan segera. Jika engkau dapat melaksanakan perintah itu engkau akan mendapat yang lebih baik di akhirat nanti daripada jerih payahmu disaat itu. Jika kamu termaksud golongan orang yang berilmu (mengerti) niscaya kamu bisa mengetahui bahwa itu benar-benar lebih baik.[11] Dalam ayat ini ditujukan bagi seluruh umat Islam di muka bumi, khususnya bagi orang-orang yang berilmu atau mengetahui jika telah mendengar panggilan sholat jum’at untuk meninggalkan segala bentuk kesibukan apapun dan segera menuju masjid untuk memenuhi panggilan tersebut.
Sholat jum’at dinilai sebagai pengganti sholat dhuhur, karena itu tidak lagi wajib atau dianjurkan kepada yang telah sholat jum’at untuk melakukan sholat dhuhur.dua kali khutbah pada upacara shalat jum’at  dinilai menggantikan dua rakaat dhuhur. Namun bagi yang tidak sempat menghadiri khutbah, ia tidak harus sholat dhuhur. Jika dia hanya sempat mengikuti satu rakaat, maka dia harus menyempurnakannya menjadi empat rakaat, walau niatnya ketika berdiri untuk sholat itu adalah sholat jum’at. Larangan melakukan jual beli, dipahami oleh Imam Malik mengandung makna batalnya serta keharusan membatalkan jual beli jika dilakukan pada saat Imam berkhutbah dan sholat. Imam Syafi’I tidak memahaminya demikian, namun menegaskan keharamannya.[12] Ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman. Istilah ini mencakup pria dan wanita, baik yang bermukim di negeri tempat tinggalnya maupun yang musafir. Namun demikian beberapa hadis Nabi SAW yang menjelaskan siapa yang dimaksud oleh ayat ini. Beliau bersabda : “(sholat) jum’at adalah keharusan yang wajib bagi setiap muslim dilaksanakan dengan berjamaah, kecuali terhadap empat kelompok, yaitu hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit” (diriwayatkan oleh Abu Daud  melalui Thariq Ibn Syihab).[13]
Menurut penafsiran al- Zamakhsyari Ayat di atas menjelaskan agar orang-orang yang beriman bila mendengarkan adzan jum’at ketika imam sudah duduk di atas mimbar segera bergegas meninggalkan jual beli (urusan duniawi) sehingga jual beli pada waktu sholat jum’at hukumnya haram meskipun sah akad jual belinya menuju dzikir kepada Allah menurut al-Zamakhsyari yaitu sholat jum’at dan khutbah, karena menurutnya pada masa Nabi SAW, kholifah Abu Bakar dan Umar pelaksanaan jum’at hanya sekali saja, sedangkan pada periode pemerintahan kholifah Utsman bin Affan adzan jum’at oleh Ustman ditambah menjadi dua kali, karena menurut hemat Utsman Islam sudah tersebar keseluruh pelosok Madinah dan rumah penduduk berjauhan dari masjid Nabi SAW, sehingga dengan landasan ini Abu Hanifah berpendapat khutbah boleh hanya dengan membaca tahmid atau tasbih saja.[14]
Al- Zamakhsyari berpendapat kata Jum’at (dengan didhomah huruf mimnya) bermakna kelompok yang berkumpul, sedangkan kata jum’at (dengan difatha mimnya) bermakna waktu berkumpul, sejarah penamaan jum’at pertama kali dilakukan oleh Ka’ab bin Lu’aih awalnya hari jum’at disebut hari A’rubah, penamaan jum’at terkait dengan perkumpulan yang berada pada masing-masing agama umat Yahudi dalam ajaran agama mereka beribadah bersama di hari sabtu, dan umat Nasrani di hari minggu, sedangkan umat Islam belum punya hari untuk berkumpul, akhirnya para sahabat berkumpul di rumah sahabat Saad bin Zararah untuk melaksankan sholat dan berzikir bersama, terkait peristiwa tersebut Allah menurunkan ayat 9 al-jumu’ah, dan perbuatan sahabat di rumah Saad bin Zararah itulah pertama kali pelaksanaan sholat jum’at dalam ajaran Islam. Pelaksanaan sholat jum’at pertama kali di Madinah disebuah desa yang berjarak ± 1mil dari Madinah sebagaimana diriwayatkan Abdurahman bin Uwaim, Rasulullah SAW hijrah ke Madinah pada waktu itu hari senin tanggal 12 di bulan Robiul awal, kemudian bermukim di Qubah selama empat hari sambil membangun masjid Qubah, tetapi ketika hari jum’at Nabi SAW menunggangi kudanya dan berangkat menuju Madinah. Bani Amr bin Ash menyangka Nabi akan bermukim di perkampungan mereka selama delapanbelas hari, sampailah Nabi bersama rombongannya di bani Salim bin Auf dan ketika itu tiba waktu pelaksanaan sholat jum’at kemudian Nabi SAW melaksanakan sholat  dan khutbah jum’at bersama rombongannya di tengah lembah bani Salim bin Auf.[15]
 
BAB IV
HIKMAH TAFSIR SURAT AL-JUMU’AH AYAT 9
Dari tafsir ayat ini kita dapat mengambil hukum-hukum sebagai berikut :[16]
1.      Hukum sholat jum’at dan usaha untuk melaksanakannya adalah wajib, karena tidak akan ada jama’ah shalat kecuali ada usaha untuk pergi ke masjid
2.      Kewajiban jum’at hanya bagi orang-orang yang mendengar panggilan sholat, maksudnya jika kalian adalah orang yang berilmu atau mengetahui jika telah terdengar panggilan sholat bersegeralah untuk memenuhi panggilan tersebut.
3.      Adzan jum’at adalah wajib hukumnya
4.      Sholat jum’at hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi tiap-tiap orang muslim)
5.      Usaha untuk melaksanakan sholat jum’at adalah wajib tanpa syarat apapun, sedangkan ketentuan syarat sahnya sholat seperti bersuci,dsb. Sudah ditentukan dalam Alquran dan sunnah
6.      Sholat jum’at tetap harus dilaksanakan meskipun bersamaan dengan hari raya. Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal apabila hari raya bersamaan dengan hari jum’at maka kewajiban jum’at gugur
7.      Para ulama’ berbeda pendapat tentang sholat jum’at yang pertama kali dilaksanakan, tetapi yang benar adalah ketika hari keempat kedatangan Nabi  di kota Madinah, yaitu pada saat beliau berada di pemukiman bani Salim bin Auf, lalu didirikan sholat di tengah mereka, dimana Nabi berkhutbah dan kemudian sholat berjama’ah.
8.      Memenuhi panggilan jum’at dan dzikrullah adalah wajib sedangkan yang termasuk dalam dzikrullah adalah sholat, khutbah dan nasehat kebaikan
9.      Allah melarang jual beli pada waktu sholat jum’at, juga bermakna muamalah secara keseluruhan
10.  Memenuhi panggilan Allah dan meninggalkan segala urusan demi itu adalah sungguh-sungguh lebih baik dan menguntungkan baik di dunia juga di akhirat
11.  Segala kegiatan dan keperluan boleh diteruskan kembali setelah sholat jum’at selesai

BAB IV
KESIMPULAN

Ayat 9 pada Surah al-Jumu’ah memberikan gambaran
tentang kegiatan kaum muslimin pada hari jum’at, sebagaimana orang Yahudi
mengistimewakan hari sabtu dan kaum Nasrani menghormati hari ahad, sedangkan jum’at merupakan hari yang istimewa bagi kaum muslimin karenanya Allah SWT. telah memberikan bimbingan berbagai kegiatan yang seharusnya mereka lakukan di hari jum’at. Pada Ayat ini ada dua kegiatan yang utama. Pertama, kegiatan ibadah. Kaum muslimin hendaknya menyiapkan diri secara penuh sejak pagi hari bahkan dianjurkan pada malam hari jum’at dihidupkan dengan memperbanyak dzikir dan Qiamul-lail. Bukan berarti pada malam-malam yang lain kegitan itu tidak perlu, tretapi khusus pada malam hari jum’at hendaknya ibadah ditingkatkan. Kedua, Allah melarang jual beli ketika panggilan adzan jum’at, Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan shalat jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang sering menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukkan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan “Dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang telah aku sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri sholat jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui maslahatnya.  Melakukan kesibukan dengan perkara lain selain jual beli sehingga mengabaikan sholat adalah perkara yang diharamkan.






[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada:2007),67-69

[2]Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah: Qs. al-jumu'ah ayat 9,( Jakarta:Maghfirah Pustaka: 2010),554a
[3]Abi Bakar Jabir al Jazaairy, Aysaar at Tafaasir Likalaami al ‘Aliyyi al Kabiir,J.V, (Madinah: Maktabah al’Uluum wal Hikam: 1994),349
[4]Ahmad Hatta, Op.cit,592a
[5]Wahbah Zuhaily, at Tafsir  al Munir fiil ‘Aqiidah wasy Syarii’ah wal Manhaj,J.II,(Damaskus:Dar el Fikr:2005),576
[6]Ahmad Hatta, Op.cit,394b
[7]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,J.14, (Jakarta:Lentera Hati:2002),229
[8]Abi Bakar Jabir al Jazaairy,Op.cit,350
[9]Quraish Shihab, Op.cit, 230
[10]Wahbah Zuhaily, Op.cit, 574
[11]Syaikh Muhammad Ibn Umar Nawawy al Jawy, Maraahu Labiid,J.II,(Beirut:Dar Kutub al-Alamiyah:2008),527
[12]Quraish Shihab, Op.cit,231
[13]Abi Qosim Muhammad Ibn Ahmad Ibn Juzaiy Kalaby, at Tashiil li’Ulumi at Tanziil, (Beirut:Dar Kutub al-Alamiyah:1995),446
[14]Abi Qosim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an haqooiq ‘awaamidh at Tanziil wa ‘uyuun al ‘Aqoowiil fii wujuuhi at Takwiil ,J.VI,(Riyadh: Maktabah Abikaat:1998),113-115
[15]Abi Qosim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari, Op.cit,113-115
[16]Wahbah Zuhaily, at Tafsir  al Munir fiil ‘Aqiidah wasy Syarii’ah wal Manhaj,J.II,(Damaskus:Dar el Fikr:2005),580-587