BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak wafatnya Rasulullah SAW persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi Alquran dalam satu mushhaf. Disamping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi di masa tabi’in, kondifikasi Alquran semuanya disandarkan pada diri Rasulullah SAW yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir-nya yang disebut Hadis.
Ilmu hadis mencakup dua obyek kajian pokok, yaitu Ilmu Hadits Riwayat dan Ilmu Hadits Diroyah. Yang dimaksud Ilmu Hadits Diroyah adalah “kumpulan kaidah dan masalah yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan periwayat dan yang diriwayatkan, dipandang dari segi diterima atau ditolaknya”. Faedah mempelajari Ilmu Hadits Diroyah adalah mengetahui yang diterima dari yang ditolak, satu hal yang wajar bila sebagian hadis memenuhi syarat-syarat qobul secara maksimal di samping ada sebagian yang tidak memenuhi keseluruhannya atau sebagiannya saja.
Kadang-kadang syarat qobul dapat dipenuhi secara sempurna oleh sebagian hadis, akan tetapi sebagian perowinya tidak berada pada tingkat yang tinggi dalam hal hafalan, kedhabitan dan keteguhan. Kedhabitan mereka berada di bawah tingkat kedhabitan para perawi hadis shohih. Mereka itulah para perawi hadis hadis hasan yang berada pada posisi tengah antara shohih dan dho’if namun hadis mereka tetap diterima dan diamalkan. Orang yang mula-mula memperkenalkan pembagian hadis kepada shohih, hasan, dan dho’if adalah imam at-Turmudziy. Dalam makalah ini kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang Imam at-Turmudziy dan peranannya dalam pembukuan Hadis Hasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Pengertian Hadis Hasan
b. Sejarah dan biografi Imam Turmudziy
c. Peranan Imam Turmudziy dalam pembukuan Hadis hasan
C. Tujuan Masalah
Merujuk pada rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai melalui makalah ini adalah :
a. Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian Hadis Hasan
b. Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang biografi Imam Turmudziy dan sejarah hidupnya
c. Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang peranan Imam Turmudziy dalam pembukuan Hadis Hasan
D. Manfaat dan kegunaan Masalah
Dari latar belakang, rumusan dan tujuan masalah maka kami dapat mengambil manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
a. Menambah wawasan tentang asal mula hadis hasan beserta biografi Imam Turmudziy
b. Menambah wawasan tentang sejarah hidup Imam Turmudzi
c. Menambah wawasan tentang peranan Imam Turmudzi dalam pembukuan hadis hasan
BAB II
PENGERTIAN HADIS HASAN DAN SEJARAH IMAM TURMUDZI
A. Pengertian Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa berarti :
ما تشتهيه النفس و تميل اليه
Artinya : sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu[1] , ada yang mengatakan hasan adalah sifat musyabbah yang berarti al-Jamal, yaitu indah dan bagus Sedangkan Hasan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena ada sebagian yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi di antara hadis shohih dan hadis dho’if , tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dho’if yang dapat dijadikan hujjah[2]. Namun yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam an-Nukhbah, yaitu khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabithannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syadz dinamakan shohih lidzatih, jika kurang sedikit kedhabithannya disebut hasan lidzatih[3]. Menurut Khatabi Hadits Hasan adalah hadits yang makhrojnya (sumber-sumber) diketahui dan rijalnya (perawi) masyhur, ia merupakan pokok dari hadits-hadits, ia juga diterima dikalangan para ulama’ serta banyak digunakan oleh para ahli fiqh”[4].
Dengan kata lain Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya dan terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan keraguan antara hadis shohih dan hasan yang paling penting adalah batasan bahwa keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedang pada hadis shohih melekat pada rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Tetapi keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit keduanya bisa digunakkan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat[5].
Kriteria hadis hasan hampir sama dengan kriteria hadis shohih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabithannya. Hadis shohih kedhabithan seluruh perawinya harus tamm (sempurna), sedang dalam hadis hasan kurang sedikit kedhabithannya jika dibandingkan dengan hadis shohih. Tetapi jika dibandingkan dengan kedhabithan perawi hadis dho’if tentu belum seimbang, hadis hasan lebih unggul[6]. Menurut perkataan Syaikh Islam Tirmidzi telah membedakan antara hadis Shohih dan hadis Hasan dalam dua hal, yaitu[7]:
1. Bahwa derajat perawi hadis hasan haruslah berada dibawah derajat perawi hadits Shohih.tetapi pada perawi hasan lidzatihi tidak boleh tertuduh atas kebohongan, mastur, majhul dll, dan perawi Shohih haruslah seorang terpercaya (tsiqoh) dan perawi hasan lidzatihi harus mempunyai sifat Dzobd (tepat) tetapi itu saja tidak cukup harus tidak tertuduh atas kebohongan.
2. Jalur perawi tidak hanya satu, seperti halnya yang diungkapkan oleh Tirmidzi dalam masalah ‘ilal dalam bukunya.
Naiknya hadits hasan ke derajat shohih bila suatu hadis hasan diriwayatkan dari jalur lain, maka ia menjadi kuat dan naik dari derajat hasan menuju derajat shohih. Karena perawi hadits hasan berada di bawah derajat perawi yang sempurna hafalannya, namun tetap berstatus adil. Sisi kekurangan daya hafal yang dikhawatirkan telah sirna dengan adanya jalur lain atau jalur-jalur lain yang menyumbat kekurangan itu dan naik dari hasan ke shohih[8].
Hadis shohih memiliki beberapa tingkat, para ulama telah berusaha untuk menjelaskan Ashahhul Asanid. Demikian pula dengan hadits hasan. Imam adz-Dzahaby mengatakan :”tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian ulama dikatakan sebagai sanad shohih, yakni menurupakan derajat shohih terendah. Kemudian sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dho’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lainnya”[9].
B. Sejarah Imam Turmudzi
1. Biografi Imam Turmudzi
Abu Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as-Sullami at-Turmudzi lebih dikenal dengan sebutan Abu Isa. Dalam karyanya al-Jami’ as-Sahih ia sering menggunakan nama tersebut untuk menyebut dirinya sendiri. Nama Abu Isa yang dipakai oleh at-Turmudzi tidak disepakati sebagian ulama karena bagi mereka Isa adalah sosok nabi yang tidak memiliki orang tua, secara maknawi dinilai salah kalau ada orang menyebut dirinya sebagai Abu Isa. Imam Turmudzi adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan at Turmudzi dan al ‘Ilal. Ia mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu. Karyanya yang terkenal yaitu Kitab al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadis terkenal. Al Hakim mengatakan "Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi at Turmudzi sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih pandai di Khurasan selain daripada Abu Isa at Turmudzi dalam hal luas ilmunya dan hafalannya"[10].
Imam Turmudzi dilahirkan pada bulan Dzulhijjah tahun 209 H (824 M) dan wafat di Turmudz pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M). Imam Bukhary dan Imam Turmudzi adalah satu daerah sebab Bukhara dan Turmudz itu berada dalam satu daerah yaitu Waraun-Nahar. Beliau mengambil hadis dari ulama hadis yang ternama, seperti Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa, al-Bukhary dan lain-lainnya. Salah satu murid Turmudzi adalah Muhammad bin Ahmad bin Mahbub[11]. Kakek Abu ‘Isa at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kembali dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang digunakannya dengan seorang guru dalam perjalanan menuju Makkah[12].
2. Pandangan para kritikus Hadis
Abu ‘Isa at-Turmudzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadis, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadis, menggolongkan Turmudzi ke dalam kelompok "Tsiqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: "Turmudzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadis, menyusun kitab, menghafal hadis dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama." Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Turmudzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab al-Jarh wat-Ta’dil. Beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam[13].
Imam Turmudzi yang dilahirkan pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 279 H memiliki cacat fisik bawaan, yaitu tuna netra. Penyunting kitab Sunan at-Turmudzi Ahmad Muhammad Syakir menambahkan bahwa sebutan adh-Dharir kepada Turmudzi dikarenakan kondisinya yang buta di masa tua. Mengikuti penuturan Umar bin ‘Allak at-Turmudzi tidaklah buta sejak dilahirkan , melainkan mengalami kebutaan setelah mengadakan lawatan ke berbagai negeri untuk menghimpun beberapa hadis Rasulullah saw dan menyusun al-Jami’ as-Shohih pendapat umar didukung oleh jumhur ulama[14].
3. Karya Imam Turmudzi
Sebagai pecinta hadis, at-Turmudzi mencurahkan seluruh hidupnya untuk menghimpun dan meneliti hadis. Kualitas ilmu Turmudzi juga tercermin dari banyaknya karya yang dihasilkan terutama di bidang hadis dikukuhkan dengan sejumlah karya yang menghimpun dan mengupas tentang pribadi Rasulullah saw dari berbagai sisi, berikut daftar beberapa karya Turmudzi[15] :
- Kitab al-Jami’ as-Shohih, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
- Kitab al-‘Ilal
- Kitab at-Tarikh
- Kitab asy-Syama’il an-Nabawiyyah
- Kitab az-Zuhd
- Kitab al-Asma’ wal-Kuna
Karyanya yang mashyur yaitu Kitab al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadis terkenal. Sekilas tentang al-Jami’, Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Turmudzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Turmudzi. Namun nama pertamalah yang popular. Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Turmudzi. Setelah selesai menyusun kitab ini, Turmudzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Sunan at-Turmudzi ditulis pada abad ke-3H. abad ini termaksud periode penyempurnaan dan pemilahan hadis, maksudnya pada masa inilah berlangsung usaha gencar-gencaran untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang belum terpecahkan di masa sebelumnya, seperti kasus persambungan sanad dan kritik matan. Pemisahan antara hadis Rasulullah saw dan fatwa sahabat juga digalakkan pada periode ini. Sehingga melahirkan kitab-kitab hadis dengan corak baru, seperti kitab Shohih yang hanya mencantumkan hadis sahih dan kitab sunan yang berikhtiar merekam seluruh hadis kecuali hadis-hadis yang bernilai sangat dho’if dan munkar. Imam Turmudzi di dalam al-Jami’ tidak hanya meriwayatkan hadis shohih semata, tetapi juga meriwayatkan beberapa hadis hasan, dho’if, ghorib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadis yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits[16].
Turmudzi pada saat itu berupaya untuk menata hukum Islam berdasarkan Alquran dan sunnah. Akhirnya, semua kitab hadis yang lahir berorientasi kepada materi fikih. Sunan at-Turmudzi disusun berdasarkan urutan bab fikih, yaitu dari bab taharah sampai bab akhlak, doa, dan tafsir. Hadis-hadis dalam kitab tersebut dirangkum dengan model sistematika juz, kitab, bab dan subbab. Kitab ini disunting dan diberi penjelasan oleh tiga ulama ternama pada generasi sekarang, yaitu Ahmad Muhammad Syakir, Muhammad Fuad Abdul Baqi, dan Ibrahim Adwah Audah[17].
Diriwayatkan, bahwa Turmudzi pernah berkata: "Semua hadis yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadis, yaitu:
- "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut" dan "dalam perjalanan."
- "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah mansukh dan ijma’ ulama menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai salat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir. Hadis-hadis dho’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan meriwayatkan dan mengamalkan hadis semacam ini lebih mudah dibandingkan dengan persyaratan hadis-hadis tentang halal dan haram.
BAB III
PERANAN IMAM TURMUDZI DALAM PEMBUKUAN HADIS HASAN
A. Peranan Imam Turmudzi
Ketika berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits kebanyakan dari para ahli hadits muta’akhirin di dalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Isa At-Turmudzi (w. 279 H), istilah hadits Hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadis belum dikenal di kalangan para ulama ahli hadis. Pada masa itu hadis hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu hadits shohih dan hadits dho’if. Adapun setelah masa beliau terjadi perkembangan dalam pengklasifikasian hadis. Pada masa ini, hadits bila ditinjau dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadits sahih, hadits Hasan, dan hadits daif. Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan hal itu. Pendapat ini disandarkan kepada pendirian Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah
Dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah berkata:“Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian ini (sahih, Hasan, dan daif) adalah Abu Isa at-Turmudzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Turmudzi, di kalangan ulama hadis pembagian tiga kualitas hadis ini tidak dikenal oleh mereka, mereka hanya membagi hadis itu menjadi sahih dan daif.”[18]. pendapat Ibn Taimiyah tersebut telah dikritik oleh ulama. Alasannya, istilah hasan telah dikenal sebelum zaman at-Turmudzi. Kritik tersebut tidak kuat sebab yang dimaksud oleh Ibn Taimiyah tampaknya bukan tentang mulai dikenalnya istilah hasan, melainkan tentang digunakannya istilah tersebut sebagai istilah yang baku bagi salah satu kualitas hadis[19].
Dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah berkata:“Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian ini (sahih, Hasan, dan daif) adalah Abu Isa at-Turmudzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Turmudzi, di kalangan ulama hadis pembagian tiga kualitas hadis ini tidak dikenal oleh mereka, mereka hanya membagi hadis itu menjadi sahih dan daif.”[18]. pendapat Ibn Taimiyah tersebut telah dikritik oleh ulama. Alasannya, istilah hasan telah dikenal sebelum zaman at-Turmudzi. Kritik tersebut tidak kuat sebab yang dimaksud oleh Ibn Taimiyah tampaknya bukan tentang mulai dikenalnya istilah hasan, melainkan tentang digunakannya istilah tersebut sebagai istilah yang baku bagi salah satu kualitas hadis[19].
Menurut Imam Ibnu Taimiyyah hadits daif pada masa sebelum Imam at-Turmudzi itu terbagi menjadi dua macam ;
1. Hadits dho’if dengan kedho’ifan yang tidak terhalang untuk mengamalkannya dan dho’if ini menyerupai Hasan dalam istilah At-Turmudzi
2. Hadits dho’if dengan kedho’ifan yang wajib ditinggalkan (tidak boleh diamalkan). Karena itu pada masa sebelum Imam at-Turmudzi, hadits Hasan dikategorikan ke dalam hadits dho’if, namun dengan kedho’ifan yang tidak terlalu parah hingga layak untuk diamalkan[20].
Itulah sebabnya di kalangan para ulama ada yang berpendapat bahwa hadits dho’if boleh diamalkan pada hal-hal yang tidak bersifat esensial, di antaranya seperti shiroh, tarikh, fadha’ilul‘amal dan mengamalkan hadits itu lebih mereka sukai daripada pendapat seseorang (ra’yu). Menurut Imam Ibnu Taimiyyah hadits Hasan yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut adalah hadis yang menempati derajat hasan pada istilah at-Turmudzi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa istilah hasan hanya tertuju untuk kualitas hadis dan kualitas sanad, serta tidak untuk kualitas matan secara sendirian[21].
Adapun posisi Imam at-Turmudzi dalam hal ini hanya sebagai orang yang memasyarakatkan istilah ini dengan cara banyak sekali memuat hadis-hadis yang berderajat Hasan pada kitabnya yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan at-Turmudzi, bukan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut. Karena itu Imam an-Nawasi berkata: “Kitab hadis at-Turmudzi merupakan sumber pokok dalam mengenal hadits Hasan dan beliaulah yang memasyarakatkannya (istilah ini)”[22]. Dalam menggunakan istilah Hasan ini Imam At-Tirmidzi mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya yaitu Muhammad Ismail Al-Bukhari dan Ali bin Al-Madini (guru Imam Al-Bukhari) guna memisahkan pengelompokkan hadits Hasan ke dalam hadits sahih oleh sebagian para ulama menurut Ibnu Shalah, pengelompokan ini semata-mata ditinjau dari segi kebolehan hadits Hasan untuk dijadikan hujjah[23].
B. Bukti-bukti penggunaan istilah Hasan sebelum masa Imam at-Turmudzi
Berdasarkan penelitian ditemukan beberapa contoh istilah Hasan yang dipergunakan oleh para ulama sebelum Imam at-Turmudzi ketika menerangkan kedudukan sebuah hadis. Di bawah ini disebutkan beberapa di antaranya:
1. Imam As-Syari’i (w. 204 H) ketika menerangkan hadits ru’yah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam kitabnya Ikhtilaf Al-Hadits. Ia berkata:
“Hadits Ibnu Umar musnad (bersambung dari awal sanad hingga akhir), sanadnya Hasan”
Masih dalam kitab yang sama pada kasus yang berbeda, ditemukan perkataan beliau:
“Aku mendengar ada orang yang meriwayatkan dengan sanad yang Hasan, sesungguhnya Abu Bakrah memberitahu kepada Nabi SAW. bahwa ia ruku’ tidak pada shaf[24]”
“Hadits Ibnu Umar musnad (bersambung dari awal sanad hingga akhir), sanadnya Hasan”
Masih dalam kitab yang sama pada kasus yang berbeda, ditemukan perkataan beliau:
“Aku mendengar ada orang yang meriwayatkan dengan sanad yang Hasan, sesungguhnya Abu Bakrah memberitahu kepada Nabi SAW. bahwa ia ruku’ tidak pada shaf[24]”
2. Dalam kitab Majma Az-Zawaid pada bab al-Imamah tertulis,
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, hendaklah orang yang lebih fasih bacaan Alqurannya dalam suatu kaum.” H.R. Al Bazzar. Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama al-Hasan bin Ali an-Naufali al-Hasyimi, dia itu dho’if. Sungguh al-Bazzar(w. 292 H) menganggap haditsnya Hasan[25].
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, hendaklah orang yang lebih fasih bacaan Alqurannya dalam suatu kaum.” H.R. Al Bazzar. Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama al-Hasan bin Ali an-Naufali al-Hasyimi, dia itu dho’if. Sungguh al-Bazzar(w. 292 H) menganggap haditsnya Hasan[25].
3. Pada hadis mengenai perintah Rasulullah SAW. tentang menyela-nyelai jari tangan dan kaki pada waktu berwudu, pengarang Tuhfah Al-Muhtaaj berkata:
“Dia(at-Turmudzi berkata pada (kitab) al-‘Ilahnya, aku bertanya kepada al-Bukhari (w. 256 H) tentang hadits, ini ia berkata, hadis ini Hasan[26]”.
“Dia(at-Turmudzi berkata pada (kitab) al-‘Ilahnya, aku bertanya kepada al-Bukhari (w. 256 H) tentang hadits, ini ia berkata, hadis ini Hasan[26]”.
4. Pada sebagian penjelasan Imam as-Syaukani pada hadis tentang waktu salat maghrib ia berkata:
“at-Turmudzi berkata pada kitab al-‘Ilal, hadis itu dianggap Hasan oleh al-Bukhari[27]”,
“at-Turmudzi berkata pada kitab al-‘Ilal, hadis itu dianggap Hasan oleh al-Bukhari[27]”,
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami berkesimpulan bahwa pemakaian istilah Hasan dalam mengklasifikasikan suatu hadis berdasarkan kualitasnya, sudah dilakukan oleh beberapa guru Imam at-Turmudzi dan generasi sebelumnya walaupun tidak memasyarakat. Dengan demikian terbantahlah pendapat Imam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa Imam at-Tirmidzi sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah hadis Hasan.
BAB IV
A. Kesimpulan
1. Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya dan terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan keraguan antara hadis shohih dan hasan yang paling penting adalah batasan bahwa keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedang pada hadis shohih melekat pada rawi yang benar-benar kuat ingatannya.
2. Imam Turmudzi adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, sebelah Utara Iran. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia menyusun kitab Sunan at Turmudzi dan al-‘Ilal. Imam Turmudzi adalah orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas Shohih, Hasan, Dho’if.
3. posisi Imam at-Turmudzi dalam hal ini hanya sebagai orang yang memasyarakatkan istilah ini dengan cara banyak sekali memuat hadis-hadis yang berderajat Hasan pada kitabnya yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan at-Turmudzi, bukan sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut.
4. Penggunaan istilah Hasan ini Imam at-Tirmidzi mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya yaitu Muhammad Ismail al-Bukhari dan Ali bin al-Madini (guru Imam al-Bukhari) guna memisahkan pengelompokkan hadis Hasan ke dalam hadis shohih.
B. Saran
Penulis mengharapkan agar makalah ini bermanfaat bagi seluruh pembacanya sebagai bahan pertimbangan. Banyak sekali kekurangan dalam makalah ini diharapkan bagi pembaca agar sering membaca buku yang berhubungan dengan makalah ini agar dapat digunakan sebagai bahan perbandingan.
[1] Mudasir, Ilmu Hadis, CV.Pustaka Setia Bandung:1999, hlm:151
[3]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta:2008, hlm 159
[4]Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib Rowi fii Syarhi Taqriibi an-Nawaawi, Dar el Fikr, Beirut:2006, hlm 94
[5] Subhi ash-Shalih penerjemah Tim Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta:1995, hlm 142
[8] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushul al-Hadts pokok-pokok ilmu hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta:2007, hlm 300
[9] Ibid
[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi
[16] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, Insan Madani, Yogyakarta:2008, hlm 83-85
[19] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta:1995, hlm 84
[20] http://ryzqah.blog.friendster.com/2006/08/hadits-hasan-dalam-lintasan-sejarah
[24] Lihat at-Taqyid wa Al-Idhah, Syarah Muqaddimah Ibnu Shalah, 1981: 52 dan Tadrib Ar-Rawi, 2006: 103 –104