Senin, 15 November 2010

tafsir tentang ayat Allah


BAB II
AYAT-AYAT TENTANG ALLAH
A.      Tafsir Ar-Rum ayat 20-25
Alquran surat Ar-Rum adalah surat ke 30,tergolong surat Makiyyah karena diturunkan di Makkah terdiri dari 60 ayat. Ar-Rum artinya bangsa Romawi, dalam surat ini dijelaskan bahwa bangsa Romawi pada saat ayat ini diturunkan adalah suatu bangsa yang beragama Nasrani yang memiliki kitab suci sedang bangsa Persia adalah beragama Majusi, menyembah api dan berhala (musyrik). Kedua bangsa itu berperang, ketika tersiar berita kekalahan bangsa Romawi oleh bangsa Persia, maka kaum musyrik Mekkah menyambutnya dengan penuh gembira karena berpihak kepada orang musyrikin Persia. Sedang kaum muslimin berduka cita karenanya. Kemudian turunlah ayat ini dan ayat berikutnya menerangkan bahwa bangsa Romawi setelah kalah itu akan menang dalam masa beberapa tahun saja. Hal itu benar-benar terjadi. Beberapa tahun setelah itu, menanglah bangsa romawi dan kalahlah bangsa Persia. Dengan kejadian yang demikian nyatalah kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul dan kebenaran Alquran sebagai firman Allah[1].
Artinya [2]:
1.       Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
2.       Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan unukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.
3.       Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
4.       Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah tidurmu pada waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.
5.       Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Dia memperlihatkan kilat kepadamu untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu dihidupkannya bumi setelah mati (kering). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mengerti.
6.        Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar (dari kubur).
Tafsirnya:
Tanah itu bersifat mati dan statis dan dari tanah manusia berasal. Namun, di sini disebut asal manusia ini dan dilanjutkan secara langsung dengan gambaran manusia yang berkembang biak dan bergerak. Ayat ini menerangkan adanya tanda-tanda kebesaran Ilahi pada diri manusia itu sendiri. Dari ayat 20 sampai 25, artinya dalam tiga ayat yaitu Tuhan menarik perhatian manusia kepada keadaan yang berada di kelilingnya, sejak dari dirinya sendiri, sampai kepada jalan hidupnya, sampai kepada pergaulannya di tengah bangsa-bangsa, sampai kepada edaran siang dengan malam, turunnya hujan dan kesuburan bumi yang semuanya itu berhubungan dengan kehidupan manusia di muka bumi. Dengan adanya peringatan tentang tanda-tanda kebesaran Allah ini, dapat disimpulkan tentang pasti adanya Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Bijaksana, Maha Perkasa disertai Maha Pengasih dan Maha Penyayang[3].
                Keenam ayat ini sama bunyi pangkalnya, yaitu “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya”, yang berarti bahwa ini hanya setengah daripadanya saja, karena banyak lagi yang lain. Transformasi yang besar dari bentuk tanah yang statis dan bernilai rendah ke bentuk manusia yang dinamis dan bermartabat mulia. Mendorong untuk merenungi atas ciptaan Allah, serta menggerakkan hati untuk bertahmid dan bertasbih kepada Allah, juga menggerakkan hati untuk mengagungkan Sang Pencipta yang telah memberikan anugerah[4].
Manusia mengetahui perasaan mereka terhadap lawan jenis, dan hubungan di antara dua jenis itu membuat saraf dan perasaan mereka bergerak. Perasaan dan bentuk  yang berbeda-beda menggerakkan langkah-langkahnya serta mendorong aktivitasnya. Namun, sedikit sekali mereka mengingat akan kekuasaan Allah yang telah menciptakan bagi mereka pasangan mereka dan menganugerahkan perasaan dan rasa cinta itu dalam jiwa mereka. Juga menjadikan dalam hubungan itu rasa tenang bagi jiwa dan sarafnya, rasa tenang bagi tubuh dan hatinya, memberikan kedamaian bagi kehidupan dan penghidupannya, penghibur bagi ruh dan hatinya, serta membuat tenang lelaki dan wanita[5].
 Khusus mengenai kata-kata "mawaddah" (rasa kasih) dan "rahmah" (sayang), Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti dari kata "nikah" (bersetubuh, bersenggama) dan yang kedua sebagai kata ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan Ikrimah, maksud perkataan Tuhan: "Bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang ialah adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia, akan terjadilah persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak dan keturunan. Persenggamaan adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia, sebegaimana adanya anak-anak adalah merupakan suatu keharusan yang umum pula. Ada yang berpendapat bahwa: "mawaddah" bagi anak muda, dan "rahmah" bagi orang tua. Sehubungan dengan mawaddah itu Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homosex, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya kepada istri-istri itulah mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan dengan merekalah seharusnya bersenggama[6].
Dari kasih sayang seorang lelaki dan wanita lahirlah generasi penerus, sehingga dapat berkembang biak di muka bumi, berlayar dari pulau ke pulau, benua ke benua. Padahal bagian yang diliputi lautan empat perlima dan hanya seperlima yang bernama daratan. Demikianlah Allah menghendaki, yaitu mengangkat khalifah-Nya di muka bumi ini. Namun khalifah itu bukanlah didatangkan dari tempat lain, melainkan di ambil bahannya dari bumi itu sendiri, tegasnya bumi itu sendirilah yang diambil dijadikan manusia, dengan diberi nyawa. Dan nyawa itu terpegang di tangan Allah sendiri. Manusia hidup di muka bumi untuk menimbulkan sejarah yang kita sebut dengan perikemanusiaan[7].
Pangkal ayat 21 ini boleh ditafsirkan dengan dua jalan penafsiran. Pertama kita pakai tafsir yang terbiasa, yaitu bahwa manusia pertama di bumi ialah nenek moyang manusia yang bernama Nabi Adam. Tatkala Nabi Adam sedang tidur nyenyak seorang diri di dalam Jannatun Na’im, dicabut Tuhan satu di antara tulang rusuknya sebelah kiri, lalu dijelmakan menjadi seseorang yang akan menjadi temannya. Terutama dalam hal kelamin, yaitu pada Adam diberi kelaki-lakian dan pada isteri yang diambil dari bagian badan Adam itu diciptakan tanda keperempuanan , lalu keduanya dikawinkan. Teranglah bahwa yang diambil dari bagian badannya untuk jadi isterinya itu hanya Nabi Adam saja. Adapun keturunan Nabi Adam yang telah bertebaran di muka bumi ini, tidaklah diambilkan Tuhan dari bagian badannya. Dalam surat as-Sajdah ayat 7 dan 8 jelas sekali bahwa yang dijadikan langsung dari tanah hanya Adam (ayat 7). Adapun keturunan Adam diciptakan dari sari pati air yang lemah, yaitu  mani (ayat 8)[8].
Diterangkan oleh Tuhan dengan ucapan “Dia ciptakan untuk kamu” dari dirimu sendiri akan isteri-isteri. Ialah seruan kepada seluruh kepada seluruh manusia, bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah satu. Ayat 1 pada surat an-Nisa’ telah menjelaskan bahwa penciptaan manusia itu dari diri yang satu, manusia namanya. Dari manusia yang satu itu juga, bukan diambilkan dari tempat lain, dijadikan akan isteri-isterinya. Maka dipertemukanlah oleh Allah “jodoh” diantara kedua pihak, untuk melanjutkan tugas berkembang biak di muka bumi “agar tenteramlah kamu kepadanya”. Artinya telah gelisahlah hidup kalau hanya seorang diri karena kesepian, terpencil tidak berteman.
Tentang mawaddatan wa rahmatan, cinta dan kasih sayang yang tersebut dalam ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa cinta ialah kerinduan seorang laki-laki kepada seorang perempuan ataupun sebaliknya yang dijadikan Allah thabi’at atau kewajaran dari hidup itu sendiri. Tiap laki-laki dan perempuan yang sehat , senantiasa mencari teman hidup yang disertai keinginan menumpahkan kasih yang disertai kepuasan bersetubuh. Tetapi sudahlah nyata syahwat bersetubuh itu tidaklah terus menerus selama hidup. Semakin bertambah umur laki-laki dan wanita mulai tua maka syahwat seyubuh dengan sendirinya akan berkurang. Hidup bersuami isteri itu bukan semata-mata mawaddatan, bertambah tua bertambahlah kasih mesra kedua pihaknya. Itulah rahmatan yang kita artikan kasih sayang, kasih sayang lebih mendalam dari cinta[9].
Jelaslah di sini bahwa hubungan laki-laki dan perempuan adalah satu di antara ayat-ayat Allah, atau satu di antara berbagai ragam kebesaran Tuhan. Itu bukan dosa seperti yang disangka oleh sebagian pemimpin fikiran agama Kristen, bahwa terjadinya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan disebabkan karena Adam. Buah khuldi yang termakan Adam dan Hawa adalah setubuh, padahal Islam tidak pernah mengajarkan demikian. Jika tidak ada hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan maka punahlah manusia di dunia ini. Untuk mengatur hidup supaya berjalan dengan wajar dan teratur, dijelaskan bahwa agama itu gunanya ialah untuk menjaga yang lima perkara [10]:
1)      Menjaga agama itu sendiri, untuk menjaga agama mesti diadakan pemerintahan yang teratur dilarang murtad.
2)      Menjaga akal supaya tidak rusak, untuk menjaga akal diperintahkan belajar dan menambah ilmu pengetahuan. Dilarang meminum dan memakan sesuatu yang dapat merusak akal.
3)      Menjaga jiwa supaya jangan binasa menurut yang tidak wajar, menjaga hak hidup orang lain, dilarang membunuh manusia atau diri sendiri, kecuali menurut peraturan yang telah tertentu, seumpama jiwa bayar jiwa
4)      Menjaga harta benda, diakui hak milik  dan pekerjaan yang halal. Dilarang mencuri, menipu harta orang, perampok, korupsi, dsb.
5)      Menjaga keturunan, disuruh menikah, dibenci melakukan talaq kalau tidak terpaksa, dilarang berzina dan segala hubungan kelamin diluar nikah. Sebab Tuhan telah menyatakan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang termulia dan bersopan santun, mempunyai akhlak yang tinggi.
                Ujung ayat 21 mengingatkan manusia agar mereka berfikir kembali bagaimana jadinya dunia ini kalau manusia berhubungan sesuka hatinya tanpa ada aturan yang bernama nikah dan talaq. Kalau demikian terjadi niscaya tidak begini dunia sekarang, tidak ada kebudayaan dan tidak ada rasa cemburu. Poko ajaran agama ialah bahwa manusia itu adalah makhluk Allah paling dimuliakan oleh Tuhan, ditinggikan derajatnya di muka bumi. Dikatakan bahwa asal-usul kedatangan manusia dari dalam syurga Aden. Sedang pokok ajaran materialisme yang dimulai oleh Charles Darwin dan dijadikan dasar filsafat “Historie Materialisme” komunis Karl Marx, ialah bahwa manusia seasal dari monyet, bukan dari syurga[11].
                Pangkal ayat 22 dalam susunan ayat ini seseorang yang berpengertian di suruh terlebih dahulu melihat ke atas langit dengan ketinggian dan keluasannya, ada bintang yang beredar terus, Nampak berganti tiap tahun, ada yang melewatike dekat bumi dalam 40 tahun sekali, ada yang hanya sekali kelihatan seumur hidup manusia dan kemudian tidak terlihat lagi.maka di ujung di tepi langit yang kita namai ufuk berbalik kita lihat ke bumi, maka terlihat pemandangan yang indah pula, baik tepi laut yang luas, gunung-gunung yang menjulang tinggi, hujan rintik turun, sungai yang mengalir deras, pohon-pohon yang tinggi, ikan dan burung dan masih banyak yang lainnya. Sesudah melihat langit dan bumi orang di suruh melihat pada diriya sendiri. Berlainan bahasa dan warna itu pun menjadi salah satu tanda dari kebesaran Tuhan. Allah telah mentakdirkan buat tiap-tiap diri ada kepribadian sendiri yang berbeda satu sama lain, sampai kepada ujung jari dan sidik jari tidak ada yang serupa, sungguh suatu keajaiban yang dahsyat. Di ujung ayat ini membayangkan tentang pentingnya orang mempunyai ilmu pengetahuandi samping pada ayat yang sebelumnya orang di anjurkan buat berfikir. Bahkan segala tanda-tanda yang telah disebutkan itu sungguh menganjurkan manusia untuk berfikir dan belajar. Karena bertambah mendalam penyelidikan bertambah timbul keyakinan bahwa alam ini seluruhnya adalah satu teknik agung yang menyeluruh[12].
                Pangkal ayat 23 ini juga ayat yang menyatukan fenomena-fenomena semesta dan kondisi-kondisi manusia yang berkaitan dengannya, serta mengaitkan antara ini dan itu, dan menyelaraskan di antara keduanya dalam inti wujud yang besar. Apabila matahari telah terbenam udara yang panas berubah jadi sejuk. Kesejukan udara dan bumi yang diliputi gelap menyebabkan keadaan yang demikian jadi sesuai untuk istirahat, maka mata pun melayu tidur.   “Dan usaha kamu mencari sebagian dari karuniaNya” yaitu semenjak matahari telah terbit, terbukalah waktu lapang buat berusaha mencari sebagian dari karunia Tuhan untuk hidup, mencari makan dan minum untuk menafkahi perbelanjaan anak dan isteri, membangun rumah tangga sederhana, sehingga setiap hari siang yang kita lalui, terisi dengan amal bakti yang shalih dan timbul dari iman. Itu pun sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan, berbagai ayat tertuai dalam Alquran menyuruh berusaha, mencari makan dan minum, asalkan tidak berlebih-lebihan hingga terpukau dengan nikmat dunia dan lupa kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan itu[13] Pada ujung ayat ini juga telah dijelaskan tentang orang-orang yang suka mendengarkan dan suka memasang pendengarannya. Karena dengan panca indera di antara kelima indera yang menghubungkan pribadi tiap-tiap kita dengan alam keliling kita ialah melihat dan mendengar. Dengan kesukaan memasangkan telinga buat mendengar, banyaklah hikmahtanda-tanda kebesaran tuhan yang dapat kita ketahui[14].
                Pada ayat 24 ini kita disuruh melihat dengan mata kepala sendiri betapa dahsyatnya kebesaran Tuhan di ruang angkasa. Mula-mula terlihat langit yang cerah tidak berawan, matahari yang panas seakan membakar. Tiba-tiba angin menghembus beberapa saat kemudian awan berkumpul, awalnya memutih dengan segera menjadi hitam yang pekat. Mulailah kedengaran guruh agak keras dan tiba-tiba memancarkan sinar listrik yang kita namai kilat atau petir. Fenomena kilat adalah fenomena yang lahir dari system semesta. Ada yang mengatakan ia lahir dari pergerakan arus listrik di antara dua kelompok awan yang mengandung listrik, atau antara awan dengan benda bumi seperti puncak gunung. Biasanya kilat diiringi dengan turunnya hujan, apapun penyebabnya kilat adalah fenomena yang lahir dari system semesta yang diciptakan Allah dan ditetapkan-Nya. Alquran sesuai dengan tabi’atnya tidak memberikan perincian yang banyak tentang hakikat fenomena semesta dan penyebabnya. Namun Alquran dijadikan sebagai media menghubung antara hati manusia dengan wujud dan pencipta wujud. Disini Alquran menjelaskan ayat Allah yang memperlihatkan kepada mereka kilat itu “untuk menimbulkan ketakutan dan harapan”. Keduanya merupakaan perasaan fitrah yang mengalir dalam jiwa manusia ketika melihat fenomena itu, karena takut dan ingin adalah naluri manusia belaka, yaitu instink ingin mempertahankan hidup. Maka semuanya itu “Adalah tanda-tanda bagi kaum yang berakal”[15].
                Cobalah kita perhatikan pertalian ayat di antara satu dengan yang lain, Allah mengajak kita memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Nya, dengan mempergunakan 4 alat yang amat penting. Pertama mempergunakan fikiran (ayat 21), kedua menggali ilmu pengetahuan dalam segala bidang (ayat 22), ketiga menggunakan pendengaran (ayat 23), dan keempat agar menggunakan akal (ayat 24). Puncak dari semuanya adalah akal, walaupun mata buta akal tetap masih berjalan untuk masalah yang tidak perlu kepada pembacaan[16].
                Pada pangkal ayat 25 kata-kata Alquran  dapat dipahamkan oleh segala orang yang berakal dan dapat diterima, dengan catatan bahwa manusia dianjurkan buat menyelidiki lagi lebih jauh. Disini Tuhan mengatakan bahwa langit berdiri tidak beranjak. Bila kita melihat ke ufuk segala jurusan, timur dan barat, utara dan selatan, kelihatan langit dan bumi itu laksana layaknya bertaut. Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa berdiri keduanya yaitu adalah atas kehendak Allah, atau atas perintah-Nya. Setiap manusia di bumi ini akan sampai kepada ajalnya, kembalilah tubuh kita kepada asal tempat dia diambil. Hancurlah dia disana menurut undang-undangalam yang telah ditentukan, kemudian kiamat pun datang. Sedangkan ujung ayat 25 yakni setelah siap wajah bumi diganti, manusia pun dipanggil dengan Israfil meniup terompet sangkakala. Semua manusia dikeluarkan dari dalam bumi untuk hidup kekal dalam bumi yang baru, manusia pun berubah dari manusia yang dahulu ,menjadi manusia yang akan menerima khuluud, abadi. Akan menghadap Tuhan untuk diperhitungkan dan untuk menentukan di antara dua tempat, syurga atau neraka[17].
B.      Tafsir Fushshilat ayat 9-12
Alquran surat Fushshilat adalah surat ke 41, tergolong surat Makkiyah karena diturunkan di Makkah, terdiri dari 54 ayat. Fushshilat artinya yang dijelaskan, ayat ini menggambarkan kebesaran dan kekuasaan Allah dan hanya Dialah yang berkuasa pada hari kiamat. Hari kiamat itu dinamakan hari panggil memanggil karena orang yang berkumpul di Padang Mahsyar sebagian memanggil sebagian yang lain untuk meminta tolong[18].
Artinya [19]:
1)       Katakanlah, “pantaskah kamu ingkar kepada tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagiNya, itulah Tuhan seluruh alam”
2)       Dan Dia ciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan kemudian Dia berkahi, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi penghuni)nya dalam empat masa, memadai untuk (memenuhi kebutuhan) mereka yang memerlukannya.
3)       Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa”. Keduanya menjawab, “kami datang dengan patuh”.
4)       Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang dekat (dengan bumi), kami hiasi dengan bintang-bintang, dan (kami ciptakan itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Maha perkasa Maha Mengetahui.
Tafsirnya :
Pada ayat-ayat ini Allah SWT mengemukakan bukti-bukti kekuasaan dan ke Esaan Nya dalam menciptakan langit dan bumi, menghiasi langit bintang-bintang yang tidak terhingga  banyaknya, Dia mengetahui segala sesuatu tidak ada satupun yang luput dari pengetahuan Nya. Pada ayat 9 Allah SWT memerintahkan kepada nabi Muhammad SAW agar mengatakan kepada orang-orang musyrik Mekkah: “mengapa kamu sekalian, mengingkari Allah yang telah menciptakan bumi dalam dua hari. Kenapa kamu menyembah tuhan-tuhan yang lain di samping menyembah Allah?. Padahal Allah Maha Suci dari segala sesuatu”. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menjadikan bumi dalam ayat ini ialah menciptakan wujudnya dan yang dimaksud dengan “hari” dalam ayat ini ialah waktu, karena hari dan malam belum ada di waktu langit dan bumi diadakan. Pertanyaan yang disampaikan kepada orang musyrik bukan maksudnya untuk bertanya tapi mencela perbuatan mereka menyembah berhala. Sesungguhnya Tuhan yang berhak mereka sembah ialah Tuhan yang menciptakan, menguasai, mengatur, memelihara kelangsungan adanya dan yang menentukan akhir kesudahan semesta alam ini, bukan berhala yang mereka sembah itu[20].
Pada ayat 10 diterangkan kebagusan penciptaan dan hukum-hukum yang berlaku pada bumi yang diciptakan Nya itu. Dia telah menjadikan gunung-gunung dipermukaan bumi sebagai pasak atau paku bumi. Jika permukaan bumi ini tidak ada gunung-gunung yang menghijau, bukit yang berbaris, lembah yang dialiri sungai, padang rumput dan padang pasir, tentu keadaan bumi tidak akan seperti sekarang. Kata qaddara dalam ayat ini dapat berarti memberinya kadar yaitu kualitas sehingga dapat berfungsi dengan baik. Dapat diartikan memberikan potensi untuk menjalankan fungsi yang ditetapkan Allah bagi masing-masing. Selanjutnya Allah SWT menerangkan bahwa dia menciptakan bumi ini sebagai tempat yang penuh keberkatan bagi manusia, penuh dengan kebagusan dan keindahan, dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya dan keperluan makhluk-makhluk lain. Dia telah menentukan kadar segala sesuatu. Menyediakan makanan pengenyang sesuai dengan keadaan. Kata aqwat adalah bentuk jamak dari kata qut. Ia terambil dari akar kata yang rangkaian huruf-hurufnya mengandung arti genggaman, pemeliharaan dan kekuasaan serta kemampuan. Dari sini lahir makna lain seperti makanan karena dengan makanan makhluk mempunyai kemampuan agar terlaksana pemeliharaan atas dirinya[21].
Allah SWT menerangkan bahwa menciptakan bumi dan gunung-gunung beserta yang ada padanya itu ialah dalam dua masa dan menciptakan keperluan, makanan dsb pada dua masa pula. Semuanya dilakukan pada empat masa dan dasar-dasar segala sesuatu yang ada di alam ini sesuai dengan masa dan keadaan dalam perkembangan selanjutnya[22]. Kata sawa’ ada yang mengaitkan dengan kata ayyam. Ath-thabari memilih pendapat yang mengaitkan dengan kata aqwat sehingga berarti bahwa Allah menetapkan aqwat-Nya secara adil bagi masing-masing. Dalam arti Allah menciptakan bumi dan segala sesuatu yang ditetapkan-Nya berkaitan bagi yang meminta atau tidak meminta, member yang memohon atau tidak. Kata as-Sa’ilin adalah bentuk jamak dari kata as-Sa’il yakni yang meminta. Permintaan itu bisa dipahami dalam arti permintaan informasi. Sementara ulama yang memahami kata aqwat berarti makanan memahaminya dalam arti permintaan makanan[23].
Setelah penciptaan bumi pada ayat yang lalu, maka pada ayat 11 Allah SWT menerangkan keadaan langit. Setelah Allah menciptakan bumi Dia menuju ke langit, waktu itu langit berupa asap. Dalam ayat ini seolah-olah Allah menerangkan bahwa bumi lebih dahulu diciptakan-Nya dari langit, barulah Dia menciptakan langit dengan segala isinya. Pada ayat lain diterangkan bahwa Allah menciptakan langit terlebih dahulu daripada bumi. Karena itu ada sebagian mufassir yang mencoba untuk mendiskusikan kedua ayat ini. Menurut mereka bahwa dalam merencanakan Allah terlebih dahulu merencanakan bumi dengan segala isinya. Tetapi dalam pelaksanaannya, Allah menciptakan langit terlebih dahulu kemudian baru bumi[24].
Sebagian ahli tafsir menafsirkan “datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa” dengan “jadilah kamu keduanya menurut sunnah-Ku yang telah aku tetapkan, jangan menyimpang sedikitpun dari ketentuan-Ku itu, ikutilah proses-proses kejadianmu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan”. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa Tuhan memerintahkan kepada langit dan bumi untuk menyempurnakan kejadiannya sesuai ketetapan yang telah ditentukan. Semua akan terjadi pada waktu yang ditentukanNya tidak ada sesuatu yang menyimpang dari ketentuan-Nya itu. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kejadian langit dan bumi itu, mulai terjadinya sampai ke bentuk yang ada seperti sekarang  melalui proses tertentu, sesuai dengan sunnah Allah. Segala sesuatu yang ada di bumi dan langit suatu saat akan musnah pada waktunya sesuai keadaan langit dan bumi pada waktu itu[25].
Pada ayat 12 diterangkan keadaan langit dan bumi setelah penciptaannya itu. Kata auha terambil dari kata wahyu yakni isyarat yang cepat yang menginformasikan segala sesuatu yang disembunyikan. Penggunaan kata itu mengandung makna kecepatan dan kerahasiaan mengesankan bahwa kerahasiaan yang menyelubungi langit jauh lebih banyak dan kompleks daripada bumi. Kata auha juga digunakan dalam Alquran dalam arti mewujudkan serta dalam arti menundukkan sehingga melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya[26]. Diterangkan bahwa Allah menyempurnakan kejadian langit itu dengan menjadikan tujuh langit dalam dua masa, dengan demikian lamanya Allah SWT merencanakan penciptaan langit dan bumi ialah  selama enam masa. Dan Allah menjadikan pada tiap-tiap langit sesuatu yang diperlukan oleh tiap-tiap langit itu, sesuai hikmah dan sunnatullah. Semua yang diterangkan adalah ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, Dia mengetahui keadaan makhluk yang diciptakanNya, baik halus maupun kasar, baik yang nyata ataupun tersembunyi. Kita dapat mengambil kesimpulan[27]:
1)       Mengingkari Allah SWT sebagai pencipta dan pemberi karunia kepada semua makhluk yang diciptakan Nya adalah perbuatan yang tidak layak.
2)       Tuhan yang berhak disembah ialah Tuhan Yang menciptakan bumi dalam dua masa, kemudian melengkapi bumi dengan segala perlengkapan dan keperluan makhluk hidup padanya dalam dua masa.
3)       Allah SWT menciptakan langit dan segala isinya dalam dua masa pula



[1] transliterator : Anwar Abu Bakar , Al-Muyassar Alquran dan Terjemahnya juz 1-30, Bandung:Sinar Baru Algensindo:2008.
[2] ibid, hal 839-840
[3] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, tafsir al-Azhar juz 21-22, Jakarta : Pustaka Panjimas :2006, hal 61
[4] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Quran (di bawah naungan Alquran), Jakarta : Gema Insani :2004, hal 138
[5] Ibid, hal 138
[6] Depag RI, Alquran dan Tafsirnya , Departemen Agama RI : Jakarta:1990
[7] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, tafsir al-Azhar juz 21-22, Jakarta : Pustaka Panjimas :2006, hal 62
[8]Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, tafsir al-Azhar juz 21-22, Jakarta : Pustaka Panjimas :2006, hal 63
[9] ibid, hal 64
[10] Ibid, hal 66
[11] Ibid, hal 67
[12]Ibid, hal 68
[13]Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Quran (di bawah naungan Alquran), Jakarta : Gema Insani :2004, hal 139
[14] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, tafsir al-Azhar juz 21-22, Jakarta : Pustaka Panjimas :2006, hal 69-70
[15] Op.cit, Tafsir fi Zhilalil Quran (di bawah naungan Alquran), Jakarta : Gema Insani :2004, hal 140
[16] Op.cit, tafsir al-Azhar juz 21-22, Jakarta : Pustaka Panjimas :2006, hal 72
[17] Ibid, hal 72-73
[18] transliterator : Anwar Abu Bakar , Al-Muyassar Alquran dan Terjemahnya juz 1-30, Bandung:Sinar Baru Algensindo:2008.
[19] Ibid, hal 1000-1001
[20] Departemen Agama RI,  Alquran dan Tafsirnya VIII juz 22,23,24,  Jakarta:DEPAG:1990, hal 635-636
[21] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Tangerang: Lentera Hati: 2002, hal 385
[22] Op.cit, Alquran dan Tafsirnya VIII juz 22,23,24,  Jakarta:DEPAG:1990, hal 636
[23] Op.cit, Tafsir Al-Misbah, Tangerang: Lentera Hati: 2002, hal 386
[24] Op.cit, Alquran dan Tafsirnya VIII juz 22,23,24,  Jakarta:DEPAG:1990, hal 637
[25] Ibid, hal 638
[26] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Tangerang: Lentera Hati: 2002, hal 390
[27] Departemen Agama RI,  Alquran dan Tafsirnya VIII juz 22,23,24,  Jakarta:DEPAG:1990, hal 638-639

2 komentar:

  1. lagi ada tuga makasih blognya lengkap banget

    ada waktu mampir mba

    http://fenomenadi.blogspot.com

    BalasHapus
  2. makasih ...
    izin buat refrensi ya..

    BalasHapus